PERINDU SYURGA

Hati bersatu karena kerinduan pada Illahi




Panduan Qurban dan Pembahasannya

Oleh: Farid Nu’man Hasan

            I.  Definisi
                Secara bahasa (lughatan) atau etimologis,  Qurban berasal dari kata Qaruba – Yaqrubu – Qurban – Qurbanan, dengan huruf Qaf didhammahkan artinya bermakna mendekat. Qaruba ilaihi artinya mendekat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: Inna Rahmatallahi Qariibun Minal Muhsinin (Sesungguhnya Rahmat Allah dekat dengan orang-orang berbuat baik).[1]
                Secara istilah (Syar’an) atau terminologis, Qurban bermakna menyembelih hewan tertentu dengan niat Qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala pada waktu tertentu pula. [2]
                Pada masa modern, istilah Qurban telah masuk ke bahasa Indonesia yakni ‘Korban’, yakni memberikan sesuatu secara rela karena faktor cinta dan ridha. Semakin hari istilah ‘Korban’ semakin meluas, dia juga bisa bermakna menjadi penderita, seperti istilah ‘Korban gempa’, ‘Korban banjir’, dan lain-lain.

II. Aktifitas Menyembelih dan Hewan Qurban
                Aktifitas menyembelih berkurban dalam bahasa Arab ada beberapa istilah, pertama, disebut dengan dhahhaa, dikatakan: dhahhaa bi Syaatin  minal Udh-hiyah artinya dia berkurban dengan ‘Kambing Qurban.’[3] Ada pun Hewan Qurban-nya sendiri lebih dikenal dengan istilah  Al Udh-hiyah, jamaknya Al Adhaahiy. Oleh karena itu hari penyembelihannya disebut ‘Iedul Adhaa (Hari Raya Qurban). Sementara, pengorbanan adalah tadh-hiyah.
                Kedua, dalam Al Quran, aktifitas menyembelih Hewan Qurban juga disebut nahr (diambil dari kata nahara – yanhuru –nahran). Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
            Oleh karena itu, hari raya kurban juga dikenal dengan Yaumun Nahri.
                Ketiga, dalam Al Quran juga, aktifitas menyembelih Hewan Qurban juga disebut nusuk (diambil dari kata nasaka – yansuku – nusukan).
                Allah Ta’ala berfirman:
   فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
  “ …jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.  “ (QS. Al Baqarah (2): 196)
Keempat, dalam Al Quran juga, aktifitas menyembelih disebut dzab-ha (diambil dari kata dzabaha – yadzbahu – dzabhan).
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. ….."  (QS. Al Baqarah (2): 67)
Kelima, dalam Al Quran aktifitas tersebut juga di sebut Al Hadyu.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban (Al Hadyu)  yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. (QS. Al Baqarah (2): 196)

III.  Hukumnya
Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah, dan inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Radhiallhu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
                “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.”[4]
                Mengomentari hadits ini, berkata Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah:
وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } وَلِحَدِيثِ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ، وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ  
                “Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, hal ini jelas ketika Rasulullah melarang mendekati tempat shalat, larangan itu menunjukkan bahwa hal itu merupakan meninggalkan  kewajiban, seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya: “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah) berbunyi: “ (wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berkurban.” Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah.[5]
                Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), hadits kedua dha’if. Sedangkan ayat Fashalli li Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Berikut keterangan dari Imam Ash Shan’ani:
وَقِيلَ لَا تَجِبُ وَالْحَدِيثُ الْأَوَّلُ مَوْقُوفٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ وَالثَّانِي ضَعْفٌ بِأَبِي رَمْلَةَ قَالَ الْخَطَّابِيُّ : إنَّهُ مَجْهُولٌ وَالْآيَةُ مُحْتَمِلَةٌ فَقَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ ( { وَانْحَرْ } ) بِوَضْعِ الْكَفِّ عَلَى النَّحْرِ فِي الصَّلَاةِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ شَاهِينَ فِي سُنَنِهِ وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِيهِ رِوَايَاتٌ عَنْ الصَّحَابَةِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلَوْ سُلِّمَ فَهِيَ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ النَّحْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ تَعْيِينٌ لِوَقْتِهِ لَا لِوُجُوبِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ إذَا نَحَرْت فَبَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ فَإِنَّهُ قَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَنَسٍ { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْحَرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَأُمِرَ أَنْ يُصَلِّيَ ثُمَّ يَنْحَرُ } وَلِضَعْفِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بَلْ قَالَ ابْنُ حَزْمٍ لَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ .  
                “Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Hadits kedua  (dari Mikhnaf bin Sulaim) dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Berkata Imam Al Khathabi: “Dia itu majhul (tidak dikenal).” Sedangkan firmanNya: “…berkurbanlah.” adalah tentang penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas dan didalamnya terdapat beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini, yang menunjukkan bahwa menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (‘Ied). Maka ayat itu secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan menunjukkan kewajibannya. Seolah berfirman: Jika engkau  menyembelih maka (lakukan) setelah shalat ‘Ied. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Anas: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyembelih sebelum shalat Id, lalu Beliau diperintahkan untuk shalat dulu baru kemudian menyembelih.” Maka nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan, madzhab jumhur (mayoritas) dari sahabat, tabi’in, dan ahli fiqih, bahwa  menyembelih qurban adalah sunah mu’akkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih satu pun dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.”[6]
                Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
         
                “Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berkurban maka janganlah dia menyentuh   sedikit pun dari  rambutnya dan kulitnya.”[7] [8]
                Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berkurban itu terkait dengan kehendak, manusianya oleh karena itu Imam Asy Syafi’i menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berkurban alias sunah.[9]
                Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:
تجب الأضحية مرة في كل عام عند أبي حنيفة، وهي سنة مؤكدة عند جمهور الأئمة.
                Wajib berqurban sekali dalam setahun menurut Abu Hanifah, dan menurut mayoritas imam adalah sunah muakadah. [10]
                Hadits lainnya:
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ
          “Aku diwajibkan untuk berkurban, namun tidak wajib bagi kalian.” [11]
                Tetapi hadits ini didhaifkan para ulama seperti Syaikh Al Albani.[12] Juga  Syaikh Syu’aib Al Arna’uth.[13]
                Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:
الأُْضْحِيَةُ فَرْضٌ عَلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ أُمَّتِهِ لِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُتَقَدِّمِ : ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَلَكُمْ تَطَوُّعٌ : النَّحْرُ وَالْوِتْرُ وَرَكْعَتَا الضُّحَى
               
Berqurban adalah fardhu (wajib) atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak bagi umatnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas yang telah lalu: ada tiga hal yang diwajibkan kepada diriku,  namun bagi kalian adalah sunah: berqurban, witir, dan dua rakaat dhuha. [14]
Hadits yang disebutkan ini diriwayatkan oleh  Ahmad No. 2050. Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/21. Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/300. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4248. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1119, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4573, Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliya, 9/232. [15]  Wallahu A’lam
IV.  Jenis Hewan Sembelihan
Tidak semua hewan bisa dijadikan sembelihan qurban. Sebab, ini adalah ibadah yang sudah memiliki petunjuk bakunya dalam syariat yang tidak boleh diubah, baik dikurang atau ditambah.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang hal ini:
أجمع العلماء على أن الهدي لا يكون إلا من النعم ، واتفقوا: على أن الافضل الابل، ثم البقر، ثم الغنم. على هذا الترتيب. لان الابل أنفع للفقراء، لعظمها، والبقر أنفع من الشاة كذلك.
          “Ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa hewan qurban itu hanya dapat diambil dari hewan ternak (An Na’am)[16]. Mereka juga sepakat bahwa yang lebih utama adalah unta  (Ibil), lalu sapi/kerbau (Baqar), lalu kambing (Ghanam), demikianlah urutannya. Alasannya adalah karena Unta lebih banyak manfaatnya (karena lebih banyak dagingnya, pen) bagi fakir miskin, dan demikian juga sapi lebih banyak manfaatnya dibanding kambing.”[17]

                Dalil-dalilnya adalah, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu:


حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

                “Kami haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami berkurban dengan Unta untuk tujuh orang, dan Sapi untuk tujuh orang.”[18]

                Untuk kambing, dalilnya adalah:

وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا وَذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ كَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ[19]

          “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih Unta dengan tangannya sendiri sambil berdiri, di Madinah Beliau menyembelih dua ekor kambing Kibasy yang putih.”[20]
         
V.   Syarat-Syarat Hewan Layak Qurban
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menuliskan ada dua syarat:
1 - أن يكون ثنيا، إذا كان من غير الضأن، أما الضأن فإنه يجزئ منه الجذع فما فوقه. وهوما له ستة أشهر، وكان سمينا. والثني من الابل: ماله خمس سنين، ومن البقر: ما له سنتان، ومن المعز ما له سنة تامة، فهذه يجزئ منها الثني فما فوقه.
2 - أن يكون سليما، فلا تجزئ فيه العوراء ولا العرجاء ولا الجرباء، ولاالعجفاء . وعن الحسن: أنهم قالوا: إذا اشترى الرجل البدنة، أو الاضحية، وهي وافية، فأصابها عور، أو عرج، أو عجف قبل يوم النحر فليذبحها وقد أجزأته. رواه سعيد بن منصور.

1.       Hendaknya yang sudah besar, jika selain jenis Adh Dha’nu (benggala, biri-biri, kibasy, dan domba). Jika termasuk Adh Dha’nu maka cukup jadza’ atau lebih. Jadza’ adalah enam bulan penuh dan gemuk badannya. Unta dikatakan besar jika sudah mencapai umur lima tahun. Sapi jika sudah dua tahun. Kambing jika sudah setahun penuh. Bika hewan-hewan ini telah mencapai umurnya masing-masing maka sudah boleh dijadikan hewan kurban.

2.       Hendaklah sehat dan tidak cacat. Maka tidak boleh ada pincang, buta sebelah, kurap (penyakit kulit), dan kurus. Dari Al Hasan: bahwa mereka berkata jika seorang membeli Unta atau hewan kurban lainnya dan kondisinya sehat-sehat saja, namun sehari sebelum hari – H mengalami pincang, buta sebelah, atau kurus kering, maka hendaklah diteruskan penyembelihannya, karena yang demikian telah cukup memadai. (HR. Said bin Manshur).[21] Demikian dari Syaikh Sayyid Sabiq.

Jadi, bisa diringkas, jika hewan kurbannya adalah jenis kibas, biri-biri, dan domba, maka minimal adalah setengah tahun penuh. Jika selain itu maka hendaknya yang sudah cukup besar, biasanya ukuran ‘besar’ bagi kambing biasa adalah setahun penuh. Sapi adalah dua tahun penuh, dan Unta adalah lima tahun.   

VI.  Tata Cara Penyembelihan

Unta Didirikan dan Yang lain dibaringkan
Jika unta maka dipotong sewaktu ia berdiri, dan itu sunah, ada pun yang lainnya dengan cara berbaring. Hal ini disebutkan beberapa hadits berikut:
وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا
“Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih Unta dengan tangannya dengan cara berdiri ..” [22]
Dari Ziyad bin Jubeir, dia berkata:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَتَى عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يَنْحَرُ بَدَنَتَهُ بَارِكَةً فَقَالَ ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bahwa Ibnu Umar mendatangi seorang laki-laki yang sedang menyembelih Unta sambil dibaringkan, lalu beliau berkata: “Bangkitkanlah agar berdiri,  lalu ikatlah, itulah sunah nabimu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[23]
Didirikan dengan tiga kaki, dan kaki kiri depan diikat, dari Abdurrahman bin Sabith, dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يَنْحَرُونَ الْبَدَنَةَ مَعْقُولَةَ الْيُسْرَى قَائِمَةً عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ قَوَائِمِهَا

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, mereka menyembelih Unta dengan keadaan kaki kiri depannya terikat, dan Unta berdiri atas tiga kakinya yang lain.”[24]
Sedangkan selain Unta, maka disembelih dengan cara dibaringkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
أما البقر والغنم، فيستحب ذبحها مضطجعة. فإن ذبح ما ينحر، ونحر ما يذبح، قيل: يكره، وقيل: لا يكره.

                “Ada pun sapi dan kambing, disunahkan menyembelih dengan cara dibaringkan. Jika terjadi sebaliknya, yang diri justru dibaringkan atau yang baring justru didirikan, maka dikatakan: makruh, ada pula yang mengatakan; tidak makruh.” [25]

Orang yang Menyembelih
                Disunnahkan orang yang menyembelih adalah yang berkurban, jika dia memiliki keahlian. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا وَذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ كَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ

          “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih Unta dengan tangannya sendiri sambil berdiri, di Madinah Beliau menyembelih dua ekor kambing Kibasy yang putih.”[26]

                Namun, bagi yang tidak ada keahlian dianjurkan untuk menyaksikan penyembelihan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq:

ويستحب أن يذبحها بنفسه، إن كان يحسن الذبح، وإلا فيندب له أن يشهده.

                “Disunahkan disembelih sendiri oleh yang berkurban, jika dia bisa menyembelih dengan baik, jika tidak bisa, maka dianjurkan untuk menyaksikan.”[27]
                Dibolehkan menurut ijma’i ulama bagi orang bisu untuk menjadi penyembelih. Berkata Imam Ibnul Mundzir:
وأجمعوا على إباحة ذبيحة الأخرس.
                “Para ulama telah ijma’ (sepakat), bahwa bolehnya sembelihan dari orang bisu.”[28]
Tasmiyah (membaca bismillah)
                Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan wajib membaca bismillah (dan takbir) ketika menyembelih, sebagian lain mengatakan sunah. Namun, yang benar adalah wajib, sebab Allah Ta’ala berfirman:
 “Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am (6): 118)
Ayat ini mengaitkan antara keimanan dengan menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelih, maka tidak syak (ragu) lagi atas wajibnya hal tersebut.
Dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
وَلَا آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Aku tidaklah makan makanan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya, pen).”[29]
عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

                “Dari Anas, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing Kibas berwarna putih dan bertanduk, dan memotong keduanya dengan tangannya sendiri, beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi Kibas tersebut (untuk mencengkram, pen).”[30]
Mendoakan Orang Yang Berkurban
                Hal juga dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak menyembelih. Sebagimana yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
                ‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa Aali Muhammad wa  min  ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad, dari keluarga Muhamamd dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” [31]

VII.  Upah Untuk Penjagal (Penyembelih)

Tidak boleh memberikan upah dengan mengambil dari daging kurban, sebab Daging kurban adalah harta yang dipersembahkan dari dan untuk kaum muslimin, oleh karena itu dia tidak boleh dijadikan sebagai alat pembayaran atau dijual belikan, termasuk kulitnya, demikian ijma’ (kesepakatan) para ulama. Namun, penyembelih dibolehkan diberikan sedekah darinya, dan tidak dinamakan upah. Sedangkan upahnya diambil dari sumber dana yang lain.

Dalilnya adalah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan  mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.”[32]

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang hadits tersebut:

وأنه لا يجوز أن يعطى الجزار منه شيئا، على معنى الاجرة، ولكن يعطى أجرة عمله، بدليل قوله: " نعطيه من عندنا ". وروي عن الحسن أنه قال لا بأس أن يعطى الجازر الجلد.

          “Bahwa tidak diperbolehkan memberikan tukang potong dari hasil potongannya sedikit pun, maksudnya adalah tidak boleh memberikan upah (dari daging potongan), tetapi dia boleh diberikan upah atas kerjanya itu, dalilnya adalah: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” Diriwayatkan oleh Al Hasan bahwa dia berkata: “Tidak mengapa memberikan kulit untuk tukang potongnya.”[33]

                Jadi, ada beberapa pelajaran dari hadits tersebut. Pertama, tukang potong tidak diupah dengan daging hewan kurban, namun boleh diberikan daging tersebut untuknya asalkan atas nama sedekah, bukan upah, sebab daging kurban adalah hak seluruh kaum muslimin, termasuk si pemotong.  Kedua, tukang potong boleh diupah melalui sumber dana lain. Ketiga, dibolehkannya pengurusan hewan kurban diamanahkan kepada orang lain. (istilah sekarang: Panitia Qurban). Keempat, semua daging dan kulitnya adalah dibagi-bagikan (disedekahkan), bukan dijual.

                Tertulis dalam Ta’sisul Ahkam:

التصدق بجميع الهدي وكل ما يتصل به
                Bersedekah itu adalah dengan semua qurban dan semua hal yang terkait dengannya.[34]

                Imam Al ‘Aini mengatakan:

وفيه من استدل به على منع بيع الجلد قال القرطبي وفيه دليل على أن جلود الهدي وجلالها لا تباع لعطفها على اللحم وإعطائها حكمه وقد اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذلك الجلود والجلال
Dalam hadits ini terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al Qurthubi: “Pada hadits ini terdapat dalil  bahwa kulit hewan qurban dan Jilal (daging punuk Unta) tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka (para ulama) sepakat bahwa daging tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.” [35]

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فلا يجوز لكم إعطاء الجلد كأجرة للجزار، كما لا يجوز بيع شيء من الأضحية بما في ذلك الجلد له أو لغيره
Maka, tidak boleh bagimu memberikan kulit sebagai upah bagi penjagal, sebagaimana tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan qurban, seperti kulit atau lainnya.  [36]

Ada pula yang membolehkan, yakni Al Auza’i, Ishaq, Ahmad, Abu Tsaur, dan segolongan Syafi’iyah.  Abu Tsaur beralasan karena semua ulama sepakat bahwa kulit boleh dimanfaatkan, maka menjual  kulit termasuk makna “memanfaatkan.” [37]

Menurut mayoritas ulama adalah tidak boleh. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

واختلفوا في جلدها وشعرها مما ينتفع به فقال الجمهور لا يجوز وقال أبو حنيفة يجوز بيعه بغير الدنانير والدراهم يعني بالعروض

Para ulama berbeda pendapat tentang menjual kulit dan bulunya, yang termasuk bisa dimanfaatkan. Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, Abu Hanifah berpendapat boleh menjualnya dengan bukan dinar dan dirham, yakni dengan ’uruudh (barang berharga selain emas). [38]

Imam An Nawawi menjelaskan:
ومذهبنا أنه لا يجوز بيع جلد الهدى ولا الأضحية ولا شيء من أجزائهما
Pendapat madzhab kami adalah tidak boleh menjual kulit hewan qurban, tidak pula boleh dijual sedikit pun bagian-bagiannya. [39]


Beliau juga mengatakan:

وحكى بن المنذر عن بن عمر وأحمد واسحق أنه لا بأس ببيع جلد هديه ويتصدق بثمنه قال ورخص في بيعه أبو ثور
Ibnul Mundzir menceritakan bahwa Ibnu Umar, Ahmad, dan Ishaq menyatakan bahwa boleh menjual kulit hewan qurban, dan mensedekahkan uangnya. Katanya: Abu Tsaur memberikan keringanan dalam menjual kulit.[40]

Lalu, Imam An Nawawi juga menceritakan bahwa Al Auza’i dan An Nakha’i membolehkan menjual kulit dengan ayakan, timbangan, dan semisalnya. Al Hasan Al Bashri membolehkan kulit diberikan untuk penjagal. Lalu semua pendapat ini dikomentari Imam An Nawawi, katanya:

وهذا منابذ للسنة والله أعلم
Semua ini berlawanan dengan sunah. Wallahu A’lam.[41]

Demkianlah adanya perbedaan pendapat dalam hal menjual kulit. Namun, yang shahih –wallahu a’lam- adalah tidak boleh  menjualnya sesuai zahir hadits tersebut, dan apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, bahwa menjualnya adalah: “Berlawanan dengan sunah.”

VIII. Cara Pembagian Daging Kurban
Pemilik hewan kurban berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah dari Allah Ta’ala sendiri:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ   
 “.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:
للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث.


          “Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. DIa pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian,  untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”[42]

IX.  Bolehkah Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Wafat?

Imam Al Bahuti mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .

Imam Ahmad berkata: bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa                                                                doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. [43]
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ .
            “Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” [44]
Beliau juga berkata:
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ
            “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.”  [45]
                Dan, qurban termasuk ibadah maaliyah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى : كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ
            “Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai kewajiban yang bisa diwakilkan.” [46]
Kelompok yang membolehkan berdalil:

1.       Diqiyaskan dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan haji.
2.       Ibadah maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban jelas-jelas ibadah maaliyah.
3.       Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.

                Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
                ‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min  ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” [47]
                Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala. Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah wafat.
                Sebenarnya, telah terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang sudah wafat. Berikut ini rinciannya:
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ . فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ . أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ . وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ .
وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ ، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ .  وَعَلَى هَذَا لَوِ اشْتَرَكَ سَبْعَةٌ فِي بَدَنَةٍ فَمَاتَ أَحَدُهُمْ قَبْل الذَّبْحِ ، فَقَال وَرَثَتُهُ - وَكَانُوا بَالِغِينَ - اذْبَحُوا عَنْهُ ، جَازَ ذَلِكَ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الذَّبْحَ عَنِ الْمَيِّتِ لاَ يَجُوزُ بِغَيْرِ وَصِيَّةٍ أَوْ وَقْفٍ .
                Jika seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan. Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.
                Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit  tanpa diwasiatkan dan waqaf. [48]


X.  Perbedaan Antara Aqiqah dan Qurban

Telah terjadi kesimpangsiuran dan campur aduk antara aqiqah dan qurban. Banyak umat Islam yang menyamakan aqiqah dengan kurban, seperti yang terjadi di beberapa daerah, bahkan –sayangnya- hal ini dikuatkan oleh pandangan tokoh yang dinilai ahli agama, sebagimana yang terjadi  di TV Swasta ketika acara tanya jawab yang cukup digemari. Sang Nara sumber mengatakan –tanpa dalil-  bolehnya aqiqah dengan sapi, sebab sapi bisa untuk tujuh orang!  (adakah aqiqah untuk tujuh bayi !?)

Ada tiga perbedaan prinsip antara Aqiqah dan Qurban.

Pertama, Jenis hewan yang di sembelih.

Qurban jelas-jelas membolehkan hewan ternak seperti Unta, Sapi, Lembu, dan Kambing (dengan berbagai jenisnya). Itulah yang disebut dengan An Na’am (hewan ternak). Ini sudah kita bahas pada halaman awal. Sedangkan Aqiqah, pendapat yang lebih kuat adalah  hanya menggunakan kambing sebagai hewan yang disembelih.

Dalilnya adalah:

عن ابن أبى مليكة يقول نفس لعبد الرحمن بن أبى بكر غلام فقيل لعائشة رضى الله عنها يا ام المؤمنين عقى عليه أو قال عنه جزورا فقالت معاذ الله ولكن ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم شاتان مكافأتان
Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” [49]
Ini adalah riwayat pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang menggantikan Kambing dengan yang lainnya, sampai-sampai ‘Aisyah mengucapkan Ma’adzallah! (Aku berlindung kepada Allah).
Oleh karena itu, dengan tegas berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

ولا يجزئ في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك

                “Tidaklah cukup dalam aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan  kambing (syatun), baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan  tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis   unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.”[50]

                Telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan Unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia menyembelih Unta untuk anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan, dia berkata:  bahwa Anas bin Malik meng –aqiqahkan anaknya dengan Unta.  Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.”  [51]

Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” [52]

Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing.  Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah, sebab hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai hadits lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu adalah kambing.  Menurut kaidahnya,  tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang masih global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan penjelasannya. Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).
Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah (saya sebut dua saja)
Dari  Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” [53]
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة.
            “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing.”[54]
                Demikianlah hadits-hadits yang memberikan perinciannya, yakni dengan kambing. Masih banyak hadits lainnya, yang semuanya memerintahkan dengan kambing, tak satu pun menyebut  selain kambing, justru yang ada adalah pengingkaran selain kambing.  Maka, jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh diganti dengan Sapi atau Unta. Wallahu A’lam.
                Imam Ibnul Qayyim telah mengkoreksi kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal ini, menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah masih  umum, dan telah dirinci dengan riwayat hadits-hadits yang menyebut penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau mengatakan;

وقول النبي صلى الله عليه وسلم عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة مفسر والمفسر أولى من المجمل

                “Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing,’ merupakan perincinya, dan rincian harus diutamakan dibanding yang masih global (umum).” [55]

Namun demikian, sebenarnya ini adalah masalah khilafiyah di antara ulama, tertulis dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut:

يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ الْجِنْسُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ ، وَهُوَ الأَْنْعَامُ مِنْ إِبِلٍ وَبَقَرٍ وَغَنَمٍ ، وَلاَ يُجْزِئُ غَيْرُهَا ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَنَفِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَهُوَ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ   وَمُقَابِل الأَْرْجَحِ أَنَّهَا لاَ تَكُونُ إِلاَّ مِنَ الْغَنَمِ .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُجْزِئُ فِيهَا الْمِقْدَارُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ وَأَقَلُّهُ شَاةٌ كَامِلَةٌ ، أَوِ السُّبُعُ مِنْ بَدَنَةٍ أَوْ مِنْ بَقَرَةٍ .
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ إِلاَّ بَدَنَةٌ كَامِلَةٌ أَوْ بَقَرَةٌ كَامِلَةٌ 
            “Aqiqah  sudah mencukupi dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu jenis hewan ternak seperti Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah selain  itu. Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dan ini menjadi pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan Malikiyah, yang diutamakan adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak. Kalangan Syafi’iyah mengatakan: telah sah aqiqah dengan hewan yang seukuran dengan hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor kambing yang telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengatakan: tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan Sapi yang telah sempurna.” [56]

                Demikian pandangan kalangan ulama madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, dan diterangkan oleh dalil yang spesifik,  adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul Qayyim, dan para imam muhaqqiq (peneliti) bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing, -tanpa mengurangi sara hormat kepada para ulama yang berpendapat bolehnya dengan sapi dan unta. Wallahu A’lam

Perbedaan kedua, Faktor penyebab penyembelihan. Hewan Kurban disembelih karena bentuk pengorbanan kita kepada Allah Ta’ala pada saat bulan Dzulhijjah sebagai pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihimassalam. Sedangkan Aqiqah merupakan penyembelihan Kambing dengan sebab kelahiran bayi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
 “Bersama seorang bayi ada aqiqahnya, maka sembilahlah hewan  dan singkirkanlah gangguan darinya” [57]
Maksud dari ‘singkirkanlah gangguan darinya’ adalah mencukur rambutnya.[58]
Perbedaan ketiga, Faktor waktu pelaksanaan. Hewan Kurban disembelih hanya pada 10,11,12,13, Dzulhijjah, demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan sudah saya bahas pada halaman awal-awal. Sebagian kecil saja ulama  yang membolehkan hingga akhir Dzulhijjah, yakni pendapat Abu Salamah bin Abdurrahman dan Ibrahim An Nakha’i.
Sedangkan Aqiqah, waktu pelaksanaannya adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Sesuai hadits berikut:
 “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberikan nama.” [59]
        Untuk waktu pelaksanaan aqiqah lihat di catatan kaki berikut.[60]

Demikian perbedaan Aqiqah dengan Qurban. Wallahu A’lam
Referensi:
1.       Al Quran Al Karim
2.       Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari
3.       Shahih Muslim, karya Imam Muslim
4.       Sunan At Tirmidzi, karya Imam At Tirmidzi
5.       Sunan Abu Daud, karya Imam Abu Daud
6.       Sunan An Nasa’i, karya Imam An Nasa’i
7.       Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah
8.       Sunanul Kubra, karya Imam Al Baihaqi
9.       Sunan Ad Darimi, karya Imam Ad Darimi
10.    Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad
11.    Musnad Abu ‘Uwanah, karya Imam Abu ‘Uwanah
12.    Al Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq
13.    Al Mushannaf, karya Imam Ibnu Abi Syaibah
14.    Al Mu’jam Al Awsath, karya Imam Ath Thabarani
15.    Musykilul Atsar, karya Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
16.    Syu’abul Iman, karya Imam Al Baihaqi
17.    Majma’uz  Zawaid wa Manba’ul Fawaid, karya Imam Al Haitsami
18.    At Talkhish Al Habir, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
19.    Nashbur Rayyah, karya Imam Az Zaila’i
20.    Al Jarh wat Ta’dil, karya Imam Abdurrahman bin Abi Hatim
21.    Adh Dhu’afa, karya Imam Al ‘Uqaili
22.    Adh Dhu’afa  wal Matrukin, karya Imam An Nasa’i
23.    Adh Dhu’afa Ash Shaghir, karya Imam Al Bukhari
24.    Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
25.    Nailul Authar, karya Imam Asy Syaukani
26.    Al Fiqhul Islam wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili
27.    Al Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, para ulama Kuwait
28.    Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Imam Ash Shan’ani
29.    Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar
30.    Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, karya Imam Ibnu Hajar
31.    Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, karya Imam Ibnul Qayyim
32.    Al Muhalla, karya Imam Ibnu Hazm
33.    Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah
34.    Al Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah
35.    Al Bada’i Ash Shana’i, karya Imam Al Kisani
36.    Mathalib Ulin Nuha, karya Imam Ar Rahibani
37.    Nihayatul Muhtaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli
38.    Hasyiyah Al Bujirumi ‘Alal Minhaj, karya Imam Sulaiman bin Muhammad Al Bujirumi
39.    Hasyiyah Ad Dasuqi, karya Imam Muhamamd bin Ahmad Ad Dasuqi
40.    Hasyiyah Ibnu Abidin, karya Imam Ibnu ‘Abidin
41.    Ta’sisul Ahkam
42.    Irwa’ Al Ghalil fi Takhrijil Hadits Manaris Sabil, karya Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani
43.    Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, karya Syaikh Al Albani
44.    Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, karya Syaikh Al Albani
45.    As Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Al Albani
46.    Takhrij musykilatul Faqr, karya Syaikh Al Albani
47.    Ash Shihah fil Lughah, karya Al Jauhari
Kamus Indonesia-Arab, karya Prof. Dr. Mahmud Yunus



[1] Al Jauhari, Ash Shihah fi Al Lughah, 2/28.
[2] Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 252, catatan kaki no. 3. Cet.1, 1425H – 2004M. Darul Kutub Al Islamiyah
[3] Al Jauhari, Ash Shihah fi Al Lughah,  1/406.  
[4]  HR. Ibnu Majah No.  3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam  Syu’abul Iman  No. 7334
                Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.
                Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr, No. 102.
                Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa wahm minhuma – ini adalah wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau juga menyebut penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa akhtha’a – keliru/salah.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
[5] Imam Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam,  6/308.  
[6] Ibid
[7] HR. Muslim No. 1977
[8] Berkata Imam An Nawawi tentang maksud hadits ini:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ : إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة ، وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة : لَا يُكْرَه ، وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يَحْرُم فِي التَّطَوُّع دُون الْوَاجِب .

                Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki 10 hari bulan Zulhijjah dan orang yang hendak berquban. Sa’id bin Al Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut Asy Syafi’I mengatakan: sesungguhnya haram baginya memotong rambut dan kukunya sampai dia berqurban pada waktu  berqurban. Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan: hal itu makruh, yakni makruh tanzih (makruh mendekati boleh), tidak haram. Abu Hanifah mengatakan: tidak makruh. Malik mengatakan: tidak makruh. Pada riwayat lain dari Malik; makruh. Pada riwayat lain: diharamkan pada haji yang sunah, bukan yang wajib. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  6/472)

[9] Imam Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 6, Hal. 308-309. 
[10] Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 6/388
[11] HR. Ahmad,   No. 2917. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 9, Hal. 264. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No.  11802, 11803, 12044
[12]  Lihat Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 5775
[13] Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 2917, Cet. 1, 1421H-2001M. dengan tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dan lainnya, Muasasah Ar Risalah
[14]  Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,  2/ 259-260
[15] Dalam hadits ini terdapat rawi bernama Abu Janab Al Kalbi , Imam Al Baihaqi mengatakan:
أَبُو جَنَابٍ الْكَلْبِىُّ اسْمُهُ يَحْيَى بْنُ أَبِى حَيَّةَ ضَعِيفٌ ، وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ يُصَدِّقُهُ وَيَرْمِيهِ بِالتَّدْلِيسِ.
Abu Janab Al Kalbi namanya adalah Yahya bin Abi Hayyah, seorang yang dhaif. Adalah Yazid bin Harun yang menilainya jujur, namun menuduhnya sebagai pelaku tadlis (menggelapkan sanad atau matan). (Sunanul Kubra No. 4248)
Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
ومداره على أبي جناب  الكلبي عن عكرمة وأبو جناب ضعيف ومدلس أيضا وقد عنعنه وأطلق الأئمة على هذا الحديث الضعف كأحمد والبيهقي وابن الصلاح وابن الجوزي والنووي وغيرهم
Masalahnya seputar pada Abu Janab Al Kalbi dari ‘Ikrimah. Abu Janab adalah dhaif dan mudallis juga, dan dia telah meriwayatkan secara ‘an’anah. Para imam telah memutlakan bahwa hadits ini dhaif, seperti Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam Ibnush Shalah, Imam Ibnul Jauzi, Imam An Nawawi, dan lainnya. (Imam Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/45, No. 530. Darul Kutub Al ‘Ilmiah)

  Imam Adz Dzahabi Rahimahullah dengan tegas mendhaifkan hadits ini:
ما تكلمَ الحأكم عليه، وهو غريب منكر، ويحيى ضغفه النسائي والدارقطني.
Al Hakim tidak mengomentari hadits ini, dan hadits ini gharib munkar, dan Yahya didhaifkan oleh An Nasa’i dan Ad Daruquthni. (Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad Ahmad No. 2050)

[16] Jamaknya Al An’am, Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan yang termasuk An Na’am adalah unta, sapi, dan kambing, baik jantan atau betina. (Fiqhus Sunnah, 1/737, cat kaki no. 1). Dalam Kamus standar Arab - Indonesia, Prof. Dr. Mahmud Yunus, An Na’am diartikan unta, lembu kambing , termasuk kerbau (hal. 459)
 
[17] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,  1/737. Darul Kitab Al ‘Arabi

[18] HR. Muslim No. 1318,  An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4122, Malik dalam Al Muwaththa No. 1032, riwayat Yahya Al Laitsiy. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 9572

[19] Kabsyain Amlahain (dua kibasy yang putih), Al Amlah artinya adalah putih tanpa campuran, namun Al ‘Iraqi mengatakan yang benar adalah putih dan hitam, namun putihnya lebih banyak. (Bulughul Maram, Hal. 252, Cat kaki no. 4. Cet. 1. 1425H – 2004M. Darul Kutub Al Islamiyah)

[20] HR. Bukhari No. 1551, Al Baihaqi dalam As sunan Al Kubra No. 9993, 18913
[21] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/738.

[22] HR. Bukhari No. 1551, Al Baihaqi dalam As sunan Al Kubra No.  9993, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1879

[23] HR. Muslim No. 1320
[24] HR. Abu Daud No. 1767, sAs Sunan Al Kubra No. 9999, Syaikh Al Albany menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud  No. 1767.

[25] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/741

[26]  Lihat takhrijnya pada catatan kaki No. 26

[27] Syaikh Sayyid Sabiq. Ibid.
[28] Imam Ibnul Mundzir, Kitabul Ijma’No. 220
[29] HR. Bukhari No. 5565
[30] HR. Muslim No. 1967
[31] Ibid
[32] HR. Muslim No. 1317
[33] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/742.
[34] Ta’sisul Ahkam, 3/313
[35] Imam Badruddin Al ‘Aini,  ‘Umdatul Qari, 15/254
[36] Fatawa Syabakah Al Islamiyah, No. 58258
[37] Ibid
[38] Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 4/95
[39] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,9/65
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid, 1/742-743
[43] Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16
[44] Majmu’ Fatawa, 5/466. Mawqi’ Al Islam
[45]  Ibid
[46] Al Mughni, 567-569
[47]  HR. Muslim No. 1967
[48] Al Bada’i Shana’i, 5/72. Hasyiyah Ibnu Abidin,  5/214. Hasyiyah Ad Dasuqi, 2/122, 123. Hasyiyah Al Bujirumi ‘alal Minhaj, 4/300.  Nihayatul Muhtaj, 8/136. Al Mughni ‘Alal Asy Syarh Al Kabir, 11/107. Muthalib Ulin Nuha, 2/472

[49] HR. Baihaqi, Juz. 9, hal. 301 dan, Abu Ja’far ath Thahawi, Musykilul Atsar,  Juz. 1, Hal. 457 
[50]  Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr
[51]  Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[52] HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551, Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200
[53] HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah  No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215
[54] HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1166
[55] Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[56] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 30/279
[57]  HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551, Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200
[58] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 9/593. Imam  Asy Syaukani, Nailul Authar,5/35
[59] HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377.  Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr
[60] Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau  sudah dewasa. 

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

                “Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377.  Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

                Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .
وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ .

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ " الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ " ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .

 “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:

قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh  dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah

والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.

                “Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika  dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

                Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan  bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.

                Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa?

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif.

Dari Anas bin Malik, katanya:
 عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة  

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?

Hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.

Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya. 

Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)

Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengatahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)

Oleh karena itu,  ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.
        Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan aqiqah setelah dewasaSebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga terangkat menjadi shahih. Hadits sebagai syawahid tersebut adalah:
        Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883:
        Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkatakepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:
أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة
        Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).  
  Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994:
Berkata kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari  Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا
        Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus sebagai nabi
  Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr:
 Kami meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj, berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas, berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah datang kepadanya masa kenabian.
Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat penguat ini:
قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في " صحيحه " غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم
Aku berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)
 Sehingga, walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq adalah dhaif –karena di dalamnya ada  Abdullah bin  Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya-  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya. (Ibid)
        Ulama yang membolehkan aqiqah ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.
        Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:
وقال أن فعله إنسان لم أكرهه
        “Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
        Imam Muhammad bin Sirrin berkata:
لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.
        Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)
        Imam Al Hasan Al Bashri berkata:
إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا
Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)
        Dan, inilah pendapat yang lebih kuat, Insya Allah. Hanya saja di negeri kita umumnya, memang  tidak lazim aqiqah ketika sudah dewasa.
Wallahu A’lam


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Perindu Syurga

Perindu Syurga
Cinta Kerja Harmoni

About Me

Followers

Pageviews

Hikmah Hari Ini

“Saya bersama kalian, saya berada diantara kalian, untuk memegang teguh syari’at Undang-undang. Kita mencintai Rab Kita melebihi tanah air kita, dan kita berbuat adil, adil dengan apa yang kita katakan. Kami menginginkan kemerdekaan dan keadilan untuk anak anak kita.” (Muhammad Mursi).