Oleh: Ustd. Farid Nu’man Hasan
Dahulu ...
Beliau –Hafizhahullah- adalah salah satu pendiri Partai Keadilan (PK)
yang kemudian berganti menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saat ini
sudah tidak bersama lagi dengan komunitas yang pernah dia besarkan dan
dia pun ikut besar bersamanya. Keberadaannya sebagai orang tua dan guru
sangat diakui pada komunitas tersebut, khususnya bagi kader dan produk
tarbiyah pada masa-masa 90-an dan awal 2000-an. Bagi kami, Beliau adalah
guru dari guru-guru kami, Al Muwajih lil muwajihin. Terasa senang dan
terhormat bisa menjadi murid dari murid-muridnya. Bagi seorang
pembelajar yang baik tidak ada kata: mantan guru dan mantan orang tua,
walaupun guru dan orang tua tersebut tidak disukainya.
Namun, betapa cepat siang ditelan oleh gelapnya malam. Beliau yang
dahulu begitu dicintai dan hormati ribuan kader dan murid-muridnya, hari
ini telah membuka front dengan mereka. Peristiwa pemecatan yang
dialaminya beberapa tahun lalu –dan kami tidak akan membahas itu,
membuatnya marah kepada sebagian qiyadah, lalu bersikap seakan mereka
adalah musuhnya yang harus dimusnahkan. Kritik demi kritik
dilontarkannya kepada qiyadah tersebut, hingga taraf menyerang kehidupan
pribadi mereka. Lalu disambut oleh media massa yang memang sangat
menyukai dan menanti kenyataan bahwa; PKS juga bisa pecah! Kritik itu
terus terjadi sampai-sampai nampaknya Beliau -Hafizhahullah- akan
terus melakukannya sampai benar-benar puas, yang justru itu membuat
jarak antara dirinya dengan kader yang dulunya begitu mencintainya.
Benar, beberapa tokoh di komunitas tarbiyah ada yang mengikuti jejaknya
baik yang mengundurkan diri (sebelum dipecat) atau dipecat karena
masalah perbedaan konsep perjuangan, atau juga karena mereka berlisan
tajam menyerang PKS membabi buta dalam berbagai forum. Hasilnya? Ada
sebagian kecil kader yang mengikuti mereka, tapi umumnya masih solid
bersama jamaah. Lalu media menyebutnya ini adalah perpecahan –lalu
lahirlah klaim yang beredar: Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera, ini
pula bacaan orang awam terhadap PKS. Sehingga, berhasil sudah bahwa PKS
juga bisa berpecah seperti yang lainnya ......
Kini ....
Pasca itu, PKS dan kadernya kembali me-recovery keadaan mereka dari
kegaduhan dan kebisingan. Mencoba untuk tidak mengoyak lagi luka yang
perlahan-lahan mengering, karena memang perselisihan itu buruk kata
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Kembali sibuk dengan
agenda-agenda kerja dan programnya di semua tingkatan pengurusan, serta
tak lagi ambil pusing dengan segala komentar miring kepada mereka.
Termasuk dalam menyikapi guru mereka, Al Ustadz Yusuf Supendi –semoga
Allah ‘Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada Beliau dan kita semua.
Semua berjalan mulai tenang, walau ada gelombang yang sifatnya sporadis
mengganggu ketenangan tersebut. Mulai dari kasus Misbakhun, Fahri Hamzah
dengan “Bubarkan KPK” dan “Selamat Natal”, Nasir Jamil dengan mengutip
Injil, dan sebagainya. Tetapi ini pun bisa dilewati, baik dilewati
dengan penjelasan, atau karena dilupakan begitu saja.
Hingga akhirnya datang tsunami politik bagi PKS, akhir Januari dan awal
Februari 2013 adalah masa paling menyesakkan bagi semua jajaran PKS dari
bawah hingga atas, yakni terseretnya Al Ustadz Luthfi Hasan Ishaq
Hafizhahullah –sebagai Presiden PKS- dalam tuduhan menerima suap dari
PT. Indoguna untuk mendapatkan quota import sapi bagi mereka. Yang
jelas, sampai tulisan ini dibuat, proses masih berjalan dan belum ada
vonis bersalah untuknya. Tapi, sebagian media, pengamat, dan publik
berbondong-bondong terlanjur menghakiminya bersalah begitu pula terhadap
partai yang dipimpinnya. Tak ketinggalan Al Ustadz Yusuf Supendi pun
ikut ambil bagian, sepertinya media menantikan bahkan memancing agar
Beliau ikut menghajar PKS. Sehingga isue tak lagi seputar daging sapi
import, tapi memori publik sengaja disegarkan dengan kegaduhan
tahun-tahun silam –seperti tudingan penggelapan uang oleh Al Ustadz Anis
Matta dan Al Ustadz Hilmi Aminuddin Hafizhahumallah- agar nama baik
PKS tidak kunjung pulih.
Allah Ta’ala berfirman :
إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ
الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ
الظُّنُونَا هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا
شَدِيدًا
(yaitu) ketika mereka (pasukan Ahzab) datang kepadamu dari atas dan dari
bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik
menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan
bermacam-macam purbasangka. Disitulah diuji orang-orang mukmin dan
digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. (QS. Al Ahzab (33):
10-11)
Bagi kami, -Anda dan Al Ustadz boleh tidak sepakat dengan kami
–barakallahu fiikum, apa yang dilakukan oleh Al Ustadz Yusuf Supendi
Hafizhahullah sudah pada tingkatan amarah, bukan lagi nasihat yang
qaulan layyina (perkataan yang lembut), dan hujjah balighah (argumentasi
yang dalam). Berbagai komentar Beliau, baik dikutip secara sepotong
oleh laman berita online di internet, atau secara utuh di televisi,
begitu terasa kebencian amarahnya terhadap qiyadah PKS, yang tentunya
tidak bisa diterima oleh kader di bawahnya. Walau Beliau merasa yang
dilakukannya adalah nahi munkar, pencerahan, dan nasihat untuk PKS.
Namun tidak demikian menurut umumnya kader PKS.
Petinggi PKS Nampak tidak mempedulikan berbagai komentar Al Ustadz,
tetapi komentar datangnya dari kader di bawah dan orang lain. Komentar
balasan pun beragam, ada yang mendukungnya namun cukup banyak yang
menyerang balik dengan cap dan sebutan yang juga tidak kalah pedasnya,
dan tidak layak dilayangkan sesama muslim. Tetapi, inilah harga yang
mesti dibayar olehnya dan oleh siapa pun yang bersikap sepertinya.
Mereka merasa dianiaya oleh berbagai komentar dari Al Ustadz, akhirnya
api itu mengepulkan asap yang balik menyesakkan dirinya ... Ini bisa
terjadi di komunitas mana pun, jika Anda menyerang mereka maka
bersiaplah mereka akan mempertahankan diri bahkan menyerang balik kepada
Anda.
Allah Ta’ala berfirman:
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (QS. An Nisa (4): 148)
Dijelaskan dalam Tafsir Al Muyassar:
لا يُحِبُّ الله أن يَجهر أحدٌ بقول السوء، لكن يُباح للمظلوم أن يَذكُر ظالمه بما فيه من السوء; ليبيِّن مَظْلمته
Allah tidak menyukai seorang pun yang terang-terangan mengucapkan
perkataan yang buruk, tetapi dibolehkan bagi orang yang dizalimi untuk
menyebutkan pihak yang menzaliminya dengan perkataan yang terdapat
keburukan dalam rangka menjelaskan kezalimannya itu. (Tafsir Al
Muyyasar, 2/146)
Bisa saja Al Ustadz Yusuf Supendi merasa dirinya yang dizalimi, maka
ayat ini adalah hujjah untuknya. Sebaliknya, kader PKS –padahal mereka
adalah murid-muridnya- akan mengatakan bahwa merekalah yang dizalimi
oleh berbagai komentar Al Ustadz –Hafizhahullah tentang PKS dan
qiyadahnya, maka ayat ini adalah hujjah bagi mereka.
Kuatkan bukti sebelum menyebutnya bersalah ...
Alangkah baiknya kita semua, termasuk kami dan Al Ustadz Yusuf Supendi
Hafizhahullah memperhatikan nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berikut ini.
عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: "لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدعوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ
أَمْوَال قَومٍ وَدِمَاءهُمْ، وَلَكِنِ البَينَةُ عَلَى المُدَّعِي،
وَاليَمينُ عَلَى مَن أَنكَر" حديث حسن رواه البيهقي هكذا بعضه في
الصحيحين.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya semua manusia dipenuhi semua
dakwaannya, niscaya akan ada seseorang yang akan menuntut sebuah kaum
darah dan hartanya, tetapi orang yang mendakwakan (menuduh) mesti
memberikan bukti, dan orang yang mengingkari mesti bersumpah.” (HR.
Bukhari No. 1711, Muslim No. 4552, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash
Shaghir No. 2412, 2413, juga As Sunan Al Kubra No. 10585, 20990, Ath
Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 11224, 11225, Ad Daruquthni
dalam Sunannya, 4/157, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 5082, 5083. Ini
adalah lafaz menurut Imam Al Baihaqi)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة كَبِيرَة مِنْ قَوَاعِد أَحْكَام الشَّرْع ،
فَفِيهِ أَنَّهُ لَا يُقْبَل قَوْل الْإِنْسَان فِيمَا يَدَّعِيه
بِمُجَرَّدِ دَعْوَاهُ ، بَلْ يَحْتَاج إِلَى بَيِّنَة أَوْ تَصْدِيق
الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Hadits ini merupakan kaidah besar di antara kaidah dalam hukum-hukum
syara’, di dalamnya menunjukkan bahwa laporan manusia tidaklah diterima
jika sekedar tuduhan semata, tetapi hendaknya dia mendatangkan bukti
atau pembenaran dari orang yang tertuduh. (Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 12/3)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh Hafizhahullah mengatakan:
أنها اسم عام جامع لكل ما يُبِينُ الحق، ويظهره
Dia (Al Bayyinah) adalah kata benda yang umum yang menghimpun apa saja
yang dapat menjelaskan dan menampakkan kebenaran. (Syarh Matn Al Arbain
An Nawawiyah, Syarah hadits No. 33)
Beliau juga mengatakan:
وأجمع أهل العلم على ما دل عليه هذا الحديث: من أن البينة على المدعي، وأن
المدعي لا تؤخذ دعواه، ولا يلتفت لها من حيث مطالبتُه بشيء، حتى يأتي ببينة
تثبت له هذا الحق.
Para ulama telah ijma’ atas apa yang ditunjukkan oleh hadits ini, bahwa
bukti mesti disodorkan oleh pihak yang menuduh, dan penuduh tidak akan
diambil tuduhannya, dan tidak dianggap tuntutannya itu, sampai dia bisa
mendatangkan bukti yang menguatkan kebenaran tuduhannya. (Ibid)
Kenapa dibutuhkan bukti? Imam Ash Shan’ani Rahumahullah menjelaskan hikmahnya:
قال العلماء والحكمة في كون البينة على المدعي أن جانب المدعي ضعيف لأنه
يدعي خلاف الظاهر فكلف الحجة القوية وهي البينة فيقوى بها ضعف المدعي
Berkata para ulama: hikmah tentang keberadaan bukti bagi si pendakwa
(penuduh) adalah karena posisi penuduh itu lemah, lantaran dia
mendakwakan sesuatu yang berbeda dengan keadaan yang tampak, maka dia
dibebani untuk memiliki hujjah yang kuat, dan itu adalah bukti, yang
dengannya bisa menguatkan kelemahan si penuduh. (Subulus Salam, 4/132)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
وَجَانِب الْمُدَّعَى عَلَيْهِ قَوِيّ لِأَنَّ الْأَصْل فَرَاغ فِي ذِمَّته فَاكْتُفِيَ مِنْهُ بِالْيَمِينِ وَهِيَ حُجَّة ضَعِيفَة
Pada sisi pihak tertuduh adalah posisi kuat, karena pada dasarnya dia
telah terjamin keadaannya, maka cukup baginya dengan bersumpah, dan itu
merupakan hujjah yang lemah. (Fathul Bari, 5/283)
Kemudian ….
Jika si penuduh berhasil menunjukkan bukti yang kuat, valid, dan
autentik, dan sudah diakui kebenarannya oleh para ahli, dan diakui pula
oleh hakim, serta saksi yang adil pun menguatkannya, sementara pihak
yang tertuduh tidak bisa mengingkari bukti itu, dan juga tidak memiliki
bukti dari sisi dirinya sendiri untuk mementahkan tuduhan tersebut,
sehingga dia hanya bisa menggunakan sumpah saja padahal sumpah itu
merupakan hujjah yang lemah, maka dia bisa dihukumi terbukti bersalah
atas perbuatannya itu. Nah, apakah semua ini sudah terlihat pada
berbagai tuduhan Al Ustadz kepada sebagian qiyadah PKS? Kita tunggu
prosesnya ….
Namun, terlanjur berbagai tuduhan itu sudah menimpa PKS, bahkan dalam
kasus sapi import ini, Al Ustadz Luthfi telah menjadi tersangka (bukan
terdakwa apalagi terpidana) …. Dan bukankah sudah cukup menjadikannya
tersangka untuk menjatuhkan PKS? Kalau pun Beliau bebas, dan tidak
terbukti, toh publik sudah terlanjur menghakiminya … cukuplah itu
membahgiakan mereka walau dia akhirnya bebas, dan bergembiralah para
pembenci PKS.
Beginilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu mengajarkan
Sebuah kisah tenar tentangnya. Beliau pernah kehilangan baju perang.
Belakangan diketahui bahwa bajunya dicuri oleh seorang Yahudi. Ali
Radhiallahu ‘Anhu menuntut untuk dikembalikan tapi si Yahudi menolaknya
karena dia mengklaim sebagai miliknya. Akhirnya Ali Radhiallahu ‘Anhu
mengadukan hal ini kepada hakim, dalam persidangan Ali Radhiallahu ‘Anhu
tidak mampu memberikan bukti yang menguatkan dan meyakinkan hakim bahwa
baju itu adalah miliknya, dan si Yahudi telah mencuri darinya.
Akhirnya, Hakim memenangkan si Yahudi dan membebaskannya dari semua
tuduhan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Selesai peristiwa itu, justru si Yahudi mengaku dia mencuri dari Ali,
dan dia masuk Islam karena terkagum dengan proses ini, dan betapa
pentingnya bukti walau Ali adalah Khalifah dia tetap tidak dimenangkan
karena tidak cukup bukti.
Apakah Ali marah? Apakah Ali dendam? Apakah Ali mengatakan yang
tidak-tidak kepada Hakim atau kepada si Yahudi setelah itu? Tidak! Dia
meridhai keputusan itu dan bisa menahan lisannya, betapa pun dia sangat
meyakini kebenaran ada pada pihak dirinya dan kesalahan pada pihak si
Yahudi, dan begitulah kenyataannya!
Belajar dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, seandainya semua tudingan kepada
qiyadah PKS yang dilaporkan Al Ustadz Yusuf Supendi dianggap lemah dan
tidak cukup bukti, maka terimalah kenyataan itu, jika pun tidak mau
terima, maka carilah bukti lain yang menguatkan kebenaran tuduhannya
bukan mengulang-ulang character assassination (pembunuhan karakter)
terhadap sebagian qiyadah itu di Media.
Belajar dari Al Ustadz Asy Syaikh Umar At Tilmisani Rahimahullah
Ketika Beliau ke London, para wartawan mencecarnya dengan berbagai
pertanyaan tentang pemimpin Mesir. Beliau menolak menjawab, karena bukan
akhlak Islam menceritakan keburukan pemimpin sendiri di negara lain.
(Lihat 100 Nasihat Pemimpin Ikhwanul Muslimin)
Ya, inilah Syaikh Umar At Tilmisani, mursyid ‘am ke-3 gerakan Al Ikhwan.
Begitu besar permusuhan pemimpin Mesir kepadanya dan kepada Al Ikhwan.
Tetapi, dia tidak mau membalasnya dengan menggunjing pemimpin Mesir di
tempat yang bukan seharusnya.
Belajar dari Asy Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah
Beliau salah satu Syaikhul Ikhwan generasi awal. Menyatakan mundur dari
Al Ikhwan, karena perselisihannya dengan Mursyid ‘Am ke-2, Asy Syaikh
Hasan Al Hudaibi Rahimahullah. Menurutnya Asy Syaikh Hasan adalah
seorang yang lemah yang tidak cocok memimpin organisasi sebesar Al
Ikhwan.
Namun, hubungan Beliau dengan Mursyid ‘Am baik-baik saja. Tidak
menyerang dan menggunjingnya baik di depan atau di belakangnya. Bahkan,
Beliau pernah melindungi dan menjaga sepatu Asy Syaikh Hasan Al Hudaibi
ketika sedang menghadiri acara yang digagas oleh Al Ikhwan. Perbedaan
cara pandang dalam masalah keorganisasian tidak merusak hubungan pribadi
di antara keduanya, tidak pula dendam.
Semoga Al Ustadz Yusuf Supendi Hafizhahullah, kami, dan pembaca
sekalian, mendapatkan pelajaran dari sikap-sikap orang shalih ini. Dan,
semoga Allah Ta’ala memberikan kasih sayang dan ampunanNya kepada guru
dan orang tua kita, Al Ustadz Yusuf Supendi Hafizhahullah, dan juga
kepada kita semua, serta menyatukan hati-hati kaum mu’minin dalam
naungan cinta dan da’wahNya.
Wallahu A’lam
Diposting oleh
Agus eSWe
0 komentar:
Posting Komentar