Menjadi Kader "Laa Syai" (Dianggap Nothing)
By: Nandang Burhanudin
****
Dalam setiap perjuangan berjamaah, kita diperlihatkan pelbagai fragmen tipe-tipe pejuang. Ada pendiri sebuah ormas-parpol-yayasan-jamaah-komunitas-DKM, namun kemudian menjadi "musuh" dan lawan antagonis yang membenci secara simultan. Berawal dari cinta tidak ada matinya, di kemudian hari berubah menjadi benci tiada henti!
Ada juga fragmen pribadi yang dianakemaskan, dibina dengan sentuhan-sentuhan tangan magis, "dibesarkan", "ditokohkan", bahkan "diberi ruang gerak yang lebih". Namun di kemudian hari, ia menjadi The Jobwhat. Tidak mengerti apa yang harus dilakukan dan misi apa yang harus diperjuangkan. Di awal ia selalu di depan! Namun pada akhirnya ia menjadi yang selalu ketinggalan!
Di sisi lain ada juga jiwa-jiwa yang di awal hingga akhir tetap utuh. Tak terlalu nampak perubahan mencolok. Secara karir biasa-biasa saja. Posisi pun tidak berubah. Terkadang ikut rombongan untuk naik level, tapi sekali lagi ia biasa-biasa saja. Prinsipnya menjadi garam di masakan. Wujudnya tak terlalu nampak di struktur, tak terlihat di spanduk-spanduk, tak terpampang di baliho-baliho. Namun perannya dirasakan ada, walau ia dianggap biasa!
Nah ada yang dari awal ia adalah pribadi yang laa syai (nothing). Namun ia terus bersabar ... terus bersabar ... dan mereguk lautan makna dari asam manis garam kehidupan. Ia tak terdorong untuk mencaci saat samudera dakwah itu nampak kotor di permukaan. Sampah berserakan. Bahkan tak sedikit bangkai ikan yang bertebaran! Ia hanya terus bertahan. Karena bagi dirinya, samudera yang kotor sekalipun jika terus fokus dalam misi dan visi, akan tetap bermanfaat mengantarkan kapal ke buritan. Maka jangan aneh, bila suatu saat nanti tipe-tipe kader Laa syai inilah yang di kemudian hari menjadi kullu syai!
Sahabat, mari kita renungi. Bukankah kita menemukan, orang yang dahulu merekrut kita menjadi bagian dari dakwah ini, namun di kemudian hari ia menjadi provokator dan penyebar kebencian terhadap kita sendiri.
Bukankah kita terkagetkan, dengan ikhwan-akhwat yang dahulu sangat taat dan ketat dengan prinsip.
Namun kini ia malah menjadi pribadi yang berpakaian ketat. JIka ia akhwat, ia tak lagi memperlakukan suami dengan hormat. Jika ia ikhwan, ia tak mampu membimbing istri dan keluarganya menjadi ahli akhirat. Malah tak sedikit keluarga yang dipilih dari rahim dakwah, namun di kemudian hari biduk rumah tangga itu pecah! Bukankah perceraian kini di kalangan aktivis dakwah menjadi hal lumrah?
Kini kita paham, berada dalam gerbong dakwah itu tidak terlalu penting apakah kita masuk di awal atau paling ujung. Tidak terlalu penting apakah kita menjadi koordinator, menjadi masinis, atau menjadi tukang karcis. Toch masinis itu hanya 1-2 orang saja.
Yang terpenting adalah, kita mampu menggali potensi terbaik diri kita. Jika ada yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah, maka niatkan Lillaahi Ta'ala. Biarkan pahala Allah saja yang diharap. Oleh karena itu, kita tidak akan pernah "mundur" saat ditegur. Marah saat diberi taushiah. Ilfil saat tak jadi calon di DAPIL. Keluar saat ide-ide kita tidak dianggap mercusuar. Mari menjadi pribadi yang tidak bersedih karena tidak dihargai. Tapi bersedih, karena diri kita tidak berharga!
0 komentar:
Posting Komentar