Cara Sederhana Memaknai Dinamika Dakwah
BY: Nandang Burhanudin
*****
Al-Munsyaqquun (kader-kader yang menceraikan diri) selalu ada di setiap langkah perjuangan. Ada yang berkomplot dengan pihak yang dahulu dikritisi. Ada yang larut dalam keluh kesah, resah melihat perjalanan yang tak lagi indah. Ada yang tak kenal lelah mengungkit-ungkit "pilihan" Pilpres. Bahkan tak sedikit yang mengungkap langkah dan kebijakan yang dianggap salah jalan. Selain kehebohan diatas, ada juga yang mengurung diri dalam sepi atau undur diri tanpa basa-basi.
Karena saya hanyalah orang biasa. Maka memahami realita dakwah saya pahami dengan biasa, bahkan cenderung sederhana. Terpeleset, terjatuh, tersungkur, bahkan terjerat kasus. Saya pikir sangat lumrah dan normal. Yang penting, bisa bangkit lagi. Lalu taubat nasuha ke arah yang lebih baik. Toch di alam penuh carut marut ini, siapa sich yang bisa selamat dari sengkarut atau tidak kepincut dengan rayuan-rayuan maut. Rayuan yang tidak ditemukan dalam lingkaran-lingkaran pengajian.
Mengapa saya memandangnya sederhana? Sebab saya teringat nasihat Mufassir kesohor Syaikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi. "Siapapun yang mencari teman tanpa aib, maka ia akan terus menyendiri." Jadi saat ada kawan halaqoh yang terjatuh. Tugas kita tentunya mengulurkan tangan agar ia bangkit lagi. Bukan malah menimpakan caci maki dan membodoh-bodohi.
Hidup bersama dalam dakwah, ibarat hidup bersama istri atau suami. Tak ada yang sempurna bukan? Kesempurnaan tentu hanya milik Allah semata. Menuntut jamaah yang sempurna, mana ada? Sama seperti suami/istri. Pasti ada kecewa dan mengecewakan. Hanya saja kecewa itu akan sirna, saat kita mengubah cara pandang. Jika cara pandangnya negatif, apapun akan negatif. Namun jika positif dan konstruktif, insya Allah setiap kesalahan atau ketidakberaturan dalam berjamaah akan melahirkan hikmah yang bisa kita raih di kemudian hari. Syaikh Sya'rawi menegaskan, "Siapa yang mencari istri/suami tanpa kekurangan, ia akan terus membujang/menggadis." Menyendiri dalam amal shalih, bermakna kita tidak memiliki akses meraih multilevel dan multiefek pahala.
Demikian pula berjalan bersama sahabat-sahabat kita dalam dakwah. Pasti tidak akan semulus yang diperkirakan. Ada clash, gap, konflik, saingan, atau cek-cok. Sekali lagi itu bagian dari seni bersosial. Menurut Syaikh Sya'rawi, "Barangsiapa mencari teman perjuangan tanpa kerikil/rintangan, maka ia akan menghabiskan hidup dalam pencarian." Artinya, usia kita yang singkat tidak mungkin "mulus" dalam berkawan. Al-Qur'an dan Sunnah saja sudah menegaskan, sunnatullah pergaulan penuh dengan haru biru. Yang penting kita taati azas hak dan kewajiban sebagai muslim.
Nah, justru saya merasakan, bergabung dalam dakwah malah menambah saudara yang tak sedarah. Berkenalan dengan saudara dari latarbelakang suku, bahasa, budaya, perilaku, hingga hobi yang berbeda. Bahkan dipertemukan dengan saudara-saudara lintas benua. Terbayang jika saya bergabung dengan organisasi kedaerahan atau organisasi ekslusif. Jadi niatkan saja bergabung dalam gerbong dakwah sebagai sarana menambah saudara. Namanya juga saudara. Bukankah sendok dengan garpu, piring dengan gelas selalu beradu? Demikian juga dengan sahabat-sahabat kita satu perjuangan. Karena menurut Syaikh Sy'arawi, "Siapa yang mencari saudara, kerabat yang sempurna, maka ia akan habiskan hidup dalam pemutusan silaturahmi."
Oleh karena itu, karena terlalu rumit mehami hidup berjamaah. Kita diperlihatkan fenomena; 1. Orang yang dahulu mempermasalahkan Islam-non Islam, korupsi, kini malah dipimpin tokoh non Islam; 2. Kader yang mempermasalahkan kebijakan, ternyata terjerembab ke dalam kebijakan yang salah kaprah; Sungguh hidup itu adalah ujian. Setiap fase ada ujiannya. Jangan sampai kita menarik fase "ishalhul hukumah" ke fase "Ta'sis". Karena jika kembali, kita akan bergulat dengan ujian yang sama tanpa pernah lulus. Wallahu A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar