PKS; Berharap Jatidiri itu Tak Pudar!
By: Nandang Burhanudin
*****
Menilik jargon cinta-Kerja-Harmoni, sangat sesuai dengan nasihat Imam Hasan Al-Banna dalam Risalah Dakwah Kami menegaskan, "Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai dari pada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehoramatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami, mengusai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami. Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan. Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian."
Butiran-butiran cinta dihias indah rona-rona pelangi komitmen untuk bekerja maksimal, membangkitkan umat dari keterpurukan dan hina dina. Komitmen untuk tak pernah menjadi musuh bagi umat, apapun yang akan terjadi kami tetap melayani.
Namun, komitmen untuk menebar Cinta dalam kerja yang penuh harmoni akan mudah pudar, jika para kader PKS yang diutus untuk berjuang memperbaiki pemerintahan (birokrasi dan legislasi) tercerabut dari akar berikut:
Pertama; Akar At-Taqassyuf fil hayaat warridhaa bihaddil Kifaayah (memilih hidup sederhana dan bahagia dengan standar cukup).
Kaya raya itu tak dilarang. Apalagi jika berasal dari usaha halal. Namun jika kader-kader PKS memahami jalan perjuangan, maka ia akan memilih jalan para Rasul, para Nabi, dan Salafusshalih. Ia berkomitmen TIDAK untuk memperkaya diri dengan jabatan dan wewenang yang dimiliki. Karena komitmen cinta, ia jadikan APBD-APBN sepenuhnya untuk melayani masyarakat, dan menyelamatkan rakyat dari keterhinaan ekonomi dan sosial.
Kisah Umar bin Khatthab yang enggan menggunakan obat Baitul Maal, saat sakit. Atau kisah Umar bin Abdul Aziz yang meninggalkan gelimang harta saat menjabat sebagai kepala Negara Utama. Kisah-kisah mereka mungkin sangat sulit untuk kita terima. Namun standar cukup (kifayah) sudah lebih dari apapun. Standar yang tidak melebihi batas glamour (bermewah-mewahan) atau tidak pula batasan kumuh.
Jangan sampai sebagai pejabat publik, melupakan akar ini. Dimana nurani kita, saat kita menerima pelayanan full service sebagai pejabat. Pergi ke mana-mana menggunakan pesawat VIP, hotel bintang 5, fasilitas super wah, namun di sisi lain rakyat kebanyakan harus rela berjibaku hanya demi mencapai kebutuhan hari itu bisa makan saja. Bukankah kader-kader PKS di bawah juga masih banyak yang menganggur, tak punya rumah, tak punya biaya untuk sekolah anak-anaknya?
Kedua; Akar Jihad.
Saat ini, menjadi pejabat atau birokrat adalah jihad yang efeknya paling mudah. Plus, daya jelajah dan daya afirmasinya meluas dan mengakar. Bayangkan, nasihat Da'i sejuta umat tidak akan berpengaruh apapun kecuali bagi orang yang memang memiliki kesadaran berubah. Tapi kebijakan seorang Gubernur, bupati-walikota memiliki pengaruh luas. Terlebih sudah siapa dengan sanksi hukum dan aparat yang akan mengawasi suatu kebijakan itu berlaku atau tidak.
Maka jihad yang paling afdhal saat menjadi pejabat adalah, menyisihkan anasir-anasir jahat para mafia anggaran dan calo-calo proyek, agar kebijakan pembangunan dirasakan khalayak luas. Bisa dipahami, bisa dirasakan, dan ada buktinya.
Bagi saya, seorang pejabat dari PKS rajin shaum Senen-Kamis adalah hal lumrah. Lalu apa pengaruhnya bagi rakyat, jika shaum Senen Kamis itu tak diejawantahkan dalam program yang KEREN dan DINAMIS? Maka saya mengapresiasi pak Gubernur Jabar atas kemampuannya mengatur anggaran untuk pembangunan jalan atau irigasi. Bukan saat pak Gubernur mahir berkhotbah Jumat atau orasi. Karena khutbah atau orasi banyak yang bisa. Namun menjadi Gubernur, tak semua orang mampu.
Jadi mari kembali ke akar nasihat Imam Hasan Al-Banna, "Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian." Jangan sampai kader-kader PKS berkuasa, namun tak banyak yang dirasa. Sungguh masyarakat itu menanti bukti dari Cinta-Kerja-dan Harmoni. Agar sepenggal Firdaus itu tidak sekedar retorika!
0 komentar:
Posting Komentar