Pasangan
suami istri yang berprofesi sebagai pemulung memberikan dua hewan
qurban di Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Pengurus masjid
yang menerima dua ekor kambing itu menangis terharu.
“Saya
nangis, tidak kuat menahan haru,” ujar Juanda (50), salah satu pengurus
Masjid Al Ittihad kepada merdeka.com, Jumat (26/10/2012).
Juanda menceritakan,
Selasa (23/10/2012), seorang pemulung bernama Maman datang ke Masjid Al
Ittihad. Masjid megah ini terletak di kawasan elit Tebet Mas, Jaksel.
“Bawanya pakai bajaj.
Dia kasih dua ekor kambing untuk qurban. Dia bicara tegas, justru saya
yang menerimanya tak kuat. Saya menangis,” kata Juanda.
Dua kambing qurban yang
diserahkan pemulung itu berwarna cokelat dan putih. Kambing itu justru
yang paling besar di antara kambing-kambing lain.
Juanda menceritakan,
pengurus lain pun terharu mendengar cerita ini. Begitu juga jamaah
shalat Idul Adha saat mendengar pengumuman lewat pengeras suara sebelum
shalat dilaksanakan. Mungkin, saat membaca cerita ini, mata Anda pun
berkaca-kaca.
Adalah pasangan suami
istri Yati (55) dan Maman (35), keduanya pemulung, menabung susah payah
untuk berqurban. Yati mengaku, sempat ditertawakan saat bercerita
seputar niatnya untuk berqurban.
“Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel, ngapain qurban,” cerita Yati, Jumat (26/10/2012).
Tapi Yati bergeming. Dia
tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan qurban. Akhirnya setelah
menabung tiga tahun, Yati bisa berqurban tahun ini.
“Pada bilang apa tidak
sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur
hidup masak tidak pernah qurban. Malu cuma nunggu daging kurban,” beber
Yati.
Yati dan suaminya,
Maman, sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika
digabung cuma Rp 25 ribu per hari. Tapi akhirnya mereka bisa membeli dua
ekor kambing. Masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta.
Dua kambing ini disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Jemaah masjid megah itu pun meneteskan air mata haru.
Pasangan suami istri ini
tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan.
Saat merdeka.com mengunjungi gubuk Yati usai Shalat Idul Adha, Jumat
(26/10/2012), Juanda, pengurus Masjid Al Ittihad, ikut menemani.
Yati membukakan pintu
dan mempersilakan masuk. Tak ada barang berharga di gubuk 3×4 meter itu.
Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun
TV itu tak menyala.
Wanita asal Madura ini
bercerita soal mimpinya bisa berqurban. Dia malu setiap tahun harus
mengantre meminta daging. “Saya ingin sekali saja bisa berqurban. Malu
seumur hidup hanya minta daging,” katanya.
Yati mengaku sudah lama
tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk
dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin
itu.
“Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? Ya numpang hidup saja,” katanya ramah.
Setiap hari Yati
mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat
sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi
pengemis.
“Biar ngesot saya harus
kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum
sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo,” akunya.
Juanda yang menjaga
Masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berqurban lalu
berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor
kambing.
“Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil,” gumamnya.
Di tengah kemiskinan
yang mendera, Yati-Maman, dua pemulung ini berqurban dua kambing–setelah
dengan susah payah menabung selama 3 tahun. Bagaimana bagi yang
memiliki kemampuan, tapi tak tergerak untuk berqurban? (islamedia)
0 komentar:
Posting Komentar