PERINDU SYURGA

Hati bersatu karena kerinduan pada Illahi

Alkisah, ada 3 santri di sebuah pesantren pinggiran Jabar. Ketiga santri ini masyhur sebagai santri yang cerdas-cekatan-berakhlak baik-dan senantiasa menjadi pelopor dalam pengabdian kepada masyarakat.

Tipe santri pertama: Berotak brilian. Fasih berbahasa Arab. Lulusan terbaik. Juga pernah mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi ia lebih memilih mengabdi Full di pesantren, mengajar. Ia turuti permintaan sang Kiai, "Sudah buat apa jauh-jauh mencari ilmu. Di pesantren ini saja, ilmu berlimpah. Mau cari apa, pasti ada!"

Tipe santri kedua: Berotak cerdas. Menguasai ilmu qiroah. Pandai berceramah. Hingga ia selalu diundang ke kota-kota besar. Ia turuti permintaan Kiai-nya. Namun di sela-sela hari dimana ia tidak ada jadwal mengajar, ia isi untuk mengisi pengajian di kota-kota dan menjalin silaturahmi lebih luas.

Tipe santri ketiga: Berotak cergas. Mahir berbahasa Arab. Memiliki hobi seni menyanyi. Ia turuti permintaan Kiai untuk mengabdi beberapa tahun. Hingga saat ada kesempatan belajar di luar kota hingga Luar Negeri, ia pamit.

20 Tahun kemudian, ketiga santri tersebut mencatat sejarah masing-masing. Mereka sudah berumah tangga. Semua beranak banyak. Bahkan santri kedua, dikaruniai dua istri dan belasan anak.

Santri pertama: Gaji dari hasil mengajar sangat kecil, tidak cukup menopang kebutuhan anak-anaknya. Sang Kiai telah wafat. Akhirnya ia memilih mencari penghasilan tambahan, mulai dari menjadi sopir angkutan kota hingga berniat menjadi TKI di negara Teluk.

Santri kedua: Gaji dari pesantren jelas sangat kecil. Namun ia mampu sejahtera karena sering mengisi pengajian di kota-kota. Bahkan ia telah mendirikan pesantren, dengan jumlah santri yang cukup banyak.

Santri ketiga: Ia tak terlalu memperhitungkan gaji di pesantren. Ia lebih banyak membangun jaringan. Aktif di bidang pengkaderan dan rekrutmen santri-santri, untuk kemudian diarahkan pada satu pembinaan yang disebut tarbiyah. Karena baginya, tarbiyah telah menjadikan dirinya sebagai orang pinggiran menjadi orang terpandang. Walau dengan kecerdasan yang masih jauh dari santri pertama.

Apa yang membuat santri ketiga lebih melejit dibanding santri pertama dan kedua? Padahal sama-sama berotak pintar dan berada dalam satu lembaga pendidikan?

Tarbiyah menjadikan santri ketiga ini, melesat hingga baru-baru ini menjadi tokoh nasional setelah ditunjuk sebagai sekjen salah satu partai. Sebelumnya ia dikenal luas khalayak dengan nasyid-nasyidnya, selain sebagai konsultan syariah sesuai basis keilmuan semasa belajar. Urusan luar negeri, tidak lagi melulu Luar Nagrek. Tapi betul-betul sudah melanglangbuana, hingga ke pelbagai belahan dunia.

***

Sahabat, banyak yang salah kaprah ketika kita aktif dalam tarbiyah. Saya tidak akan membahas tentang sejarah tarbiyah zaman Rasul. Tapi belajar dari ketiga santri di atas, saya menemukan bahwa ketika kita memasuki gerbang pembinaan tarbiyah, maka sebenarnya kita diarahkan untuk menjadi 4 sosok berikut:

1. Ujung Tombak

Ibarat busur panah, dengan tarbiyah kita dipersiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap dilesatkan mencapai sasaran dari universalitas dakwah. Target dari dakwah sudah jelas. Ta'rif-Tanfidz-Takwin adalah sasaran-sasaran di setiap fase tarbiyah.

Menjadi pribadi ahli ibadah-berkarakter 10 muwashofat, adalah upaya maksimal yang hendak dicapai tarbiyah. Maka bisa dipastikan, akan ada orang yang 'alim-ahli ibadah, namun ia berada di zona nyaman. Ada keengganan tak terucapkan, saat ia harus menjadi ujung tombak dari semua pengorbanan.

Dalam tarbiyah, siapapun dan apapun latarbelakang kita, maka kita harus siap menjadi prajurit sebelum menjadi komandan. Karena komandan yang otpimum, lahir dari jiwa prajurit yang maksimum.

2. Ujung Tembok

Lazimnya sebuah tembok, tarbiyah mengarahkan kader untuk menjadi jiwa-jiwa yang indah dipandang, kuat diterjang badai, tak lekang diguyur hujan. Sehat ruhiah harus seiring dengan kesehatan fisik. Pun sebaliknya.

Karena jiwa-jiwa yang ditarbiyah, harus siap menghadapi segala keadaan dan cuaca. Hujan-panas-kemarau-dingin. Atau cuaca fitnah-bully-ghibah-caci maki. Semua harus dihadapi dengan keramahan, namun tetap tegas dan tegar sekuat tembok.

Tarbiyah sama sekali tidak mentolelir jiwa-jiwa yang ringkih-galau-lebay-banyak alasan, atau jiwa-jiwa yang kasar, pengadil (salah benar, muslim-kafir), jiwa-jiwa yang antipati apalagi suka mengeluh.

3. Ujung Tambak

Maksud tambak di sini adalah, tarbiyah membina semua jiwa-jiwa agar mampu menemukan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kemudian disumbangkan bagi kemajuan dakwah dan kejayaan Islam-Muslimin.

Lulusan Timteng, Eropa, hingga tanah air diarahkan memeras otak-berpeluh keringat-bergerak cepat agar mampu memberikan jawaban atas setiap problematika yang dihadapi umat. Mulai dari problem kayakinan-kesehatan-budaya-politik-ekonomi-sains teknologi-hingga pertanian.

Kehadiran jiwa-jiwa tertarbiyah dalam setiap keadaan, susah-senang; bencana-bahagia; carut marut-damai sentosa. Bahkan jiwa-jiwa tarbiyah harus menjadi penyeimbang dari semua kondisi. Jika senang tak lupa daratan. Jika susah tak perlu keluh kesah. Saat carut-marut tak perlu makin sengkarut. Saat aman sentosa tak lup pada Allah Ta'ala.

Tarbiyah berfusngi memoles, bukan mengubah. Sebagaimana Umar yang keras dan Abu Bakar yang lebut, setelah ditarbiyah baginda Rasul tidak lantas berbalik. Umar tetap dengan sikap kerasnya, penuh prinsip, namun semua dipoles agar diarahkan semakin indah demi kebenaran. Sebagaimana Abu Bakar pun demikian.

Jadi tarbiyah bukanlah media sulap: Sim salabim semua berubah dari yang biasa jadi luarbiasa, from zero to hero, atau from koko to zoro. Sama sekali tidak. Tarbiyah adalah menggali potensi-potensi/bakat-bakat terpendam dan mengartikulasikannya dalam kehidupan.

4. Ujung Tombok

Apapun selama di dunia ini, pasti membutuhkan uang-materi-harta. Tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar siap mengorbankan apa yang mampu dikorbankan. Semua demi peran memberikan sumbangsih yang mampu diberikan. Tenaga-fikiran-harta-waktu adalah hal lumrah dalam tarbiyah. Karena kelemahan umat Islam bukan hanya disebabkan rekayasa dan konspirasi musuh, tapi lebih dikarenakan jiwa-jiwa muslimnya enggan berkontribusi maksimal-optimal bagi kejayaan Islam itu sendiri.

Shunduquna juyuubuna, tidak pernah berubah menjad Shunduqunaa APBD-unaa. Karena jiwa-jiwa tertarbiyah akan siap menjadi ujung tambak, bagi roda perjalanan dakwah hingga ajal menjemput: dakwah menjadi pemenang atau kita telah banyak berkontribusi positif.

Ingat One Man One Dollar, atau iuran bulanan yang rutin dikeluarkan, hingga sumbangan sukarela untuk menjalani setiap fase-fase perjuangan.

Kesimpulan

Sahabat, betul saat sebuah adagium mengatakan, "Tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari tarbiyah."

Dalam tarbiyah kita bisa:

1. Berkawan dengan orang yang multi latarbelakang. Karena tarbiyah anti fanatisme suku, golongan, almamater, hingga gelar-kedudukan-kekayaan. Jiwa paling bertakwa kepada Allah saja yang paling patut dijadikan teladan.

2. Bersaudara dengan orang yang asalnya multiinterest, multitabiat-watak, juga multidimensi. Karena tarbiyah mendidik jiwa-jiwa agar berusaha semua LILLAAH bukan Lil-Jaah (Kehormatan-kedudukan). Jika pun ada jiwa tertarbiyah yang kebetulan jadi Aleg-Bupati/Walkot-Gubernur-Menteri, spirit LILLAAH adalah nomor 1. Mereka akan tetap aktif dalam pembinaan tarbiyah. Bagaimanapun posisi dan kesibukan.

3. Berjuang dalam kebersamaan, melakukan hal-hal yang logis-rasional-terukur, jauh dari utopia-euforia-atau hanya klaim-klaim dewa yang tak nyata. Kendati demikian, tetap membuka diri untuk menghargai perjuangan yang bermuara pada kejayaan umat.

Jadi hari gini salah niat dalam tarbiyah? Apa kata dunia ....!?

[Ustd. Nandang Burhanudin] 


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Perindu Syurga

Perindu Syurga
Cinta Kerja Harmoni

Arsip Tulisan

About Me

Followers

Pageviews

Hikmah Hari Ini

“Saya bersama kalian, saya berada diantara kalian, untuk memegang teguh syari’at Undang-undang. Kita mencintai Rab Kita melebihi tanah air kita, dan kita berbuat adil, adil dengan apa yang kita katakan. Kami menginginkan kemerdekaan dan keadilan untuk anak anak kita.” (Muhammad Mursi).