Oneng … jika mendengar nama itu
kira-kira apa yang terbesit di benak Anda? 99% otak rakyat Indonesia
saya yakin pasti langsung tertuju sosok si Oneng, istri Ahmad Bajuri
dalam komedi situasi Bajaj Bajuri.
Saya penggemar setia serial dari
sebuah stasiun televisi swasta itu, yang sangat sukses tahun 2002 hingga
2005an.
Pribadi Oneng memang sangat identik dengan keluguan, kejujuran,
polos, apa adanya, serta (maaf) O’ON.
Hal terakhir ini yang saya paling
tidak setuju. Saya menolak keras itu!
Jenius
Bagi saya pribadi, Oneng adalah symbol sebuah kejeniusan perilaku.
Bagaimana tidak? Di saat para pemimpin bangsa hanya bisa mengirim
kesedihan demi kesedihan pada rakyat, Oneng hadir mengirim kegembiraan
pada rakyat. Di saat para koruptor menghisap darah kaum miskin, Oneng
hadir membawa dahaga pesan-pesan kejujuran.
Kejujuran adalah hal pertama
yang paling dibenci para koruptor. Di saat banyak pejabat sibuk dengan
kemunafikannya, Oneng sibuk dengan kepolosannya. Sangat mudah membuat
rakyat menangis di negeri ini, tapi Oneng membuat mereka tersenyum
kembali. Intinya, hanya orang jeniuslah yang bisa berbuat demikian,
membuat bangsa ini kembali bahagia.
Awalnya saya berpikir Rieke
akan meneladani sosok Oneng-nya itu. Konsisten memberi “kebahagiaan”
pada bangsa ini, khususnya rakyat Jabar. Apalagi dengan pendamping kang
Teten yang juga sosok idola saya sejak kecil. Satu penebar kegembiraan,
satu penebar perangkap antikorupsi. Pasangan serasi saat maju
Cagub-Cawagub Jabar 2013 ini.
Tapi jauh panggang dari api.
Kepribadian Oneng sama sekali tidak saya temukan bekasnya pada sosok
Rieke Diah Pitaloka. Eksplosivitas Rieke dalam merespon kekalahannya
begitu menggebu-begu. Bahkan terkesan menjadi “norak” saat 9 lembaga
survey independen melangsir quick count dengan kemenangan mutlak
pasangan Aher-Demiz. Argumentasi dan logika berpikir yang dibangun sama
sekali tidak mencerminkan jeniusitas sebagaimana kapasitasnya sebagai
penyelenggara negara.
Psikologi Massa
Dalam Psikologi Massa, Neil Smelser (1987) pernah mewanti-wanti tentang Structural Strain bahwa
ketegangan pada massa mampu muncul akibat faktor struktural. Adanya
pernyataan tokoh panutan yang propagandais membawa pelibatan emosi massa
menjadi menegang, meski isi pernyataan belum tentu benar.
Hal ini
pernah dicontohkan secara ekstrim oleh Hittler. Penggalangan opini media
yang selalu diulang-ulang oleh Rieke; kecurangan, politik
transaksional, pengurangan suara, penggelembungan suara, dsb akan
membawa konsekuensi logis psikologi massa menjadi “ready to mobilize for actions“. Mereka siap secara psikologis untuk digerakkan merespon situasi apapun. Hanya butuh satu pemantik api kecil, dan … boom!
Potensi class strain ini
mungkin tidak terpikirkan oleh Rieke. Jawa Barat yang terkenal elok dan
damai, sangat disayangkan jika dipantik api dalam sekam. Kekuasaan akan
selalu indah dipandang sejak zaman Romawi kuno, namun ada yang lebih
indah dari itu semua yaitu kedamaian. Toh sudah ada Mahkamah Konstitusi
tempat berpijak semua keadilan yang kita butuhkan. Oleh karena itu,
lewat media ini saya ingin mengingatkan Rieke untuk berhati-hati
mengeluarkan pernyataan.
Jawab Pertanyaanku
Teteh
Rieke, pernahkah kau bayangkan akibat dari pernyataanmu itu di akar
rumput? Jika engkau cinta Tanah Pasundan, apa engkau rela anak bangsa
akan saling tuduh bahkan adu jotos? Bukankah lebih baik menunggu hasil
kinerja KPU dan awasi bersama-sama perhitungan suaranya? Jika ada
penyelewengan mengadu saja ke Banwaslu. Mari kawal MK dalam mengadili
aduan-aduanmu dengan sebaik-baiknya, itu jauh lebih bermartabat
dibanding mengumbar emosional ke publik.
Kenapa kau tidak
meneladani Fauzie Bowo yang dulu begitu engkau benci, tapi saat quick
count dinyatakan kalah langsung memberi selamat pada Jokowi? Lihatlah
para para pemimpin lainnya seperti Jusuf Kalla, Wiranto, hingga Mitt
Romney yang bersikap serupa. Tidak malukah engkau dengan Oneng-mu yang
pernah menjadi idola rakyat dahulu, bukankah kau ingin selalu dikenang
sebagai idola rakyat seterusnya?
Teteh Rieke coba tanya nuranimu,
jalan inikah yang kamu impikan? Jalan demokrasi yang semena-mena kau
tentukan sendiri definisinya, dengan memakai asumsi dan emosimu sebagai
kebenaran teorinya? Atau hanya bang Bajuri yang bisa menasihatimu untuk
legowo menerima hasil kekalahan? Untung “mantan suamimu” itu kini sedang
sibuk jadi Tukang Bubur yang sering naik haji. Jika tidak, mungkin
sudah dijewer kupingmu berkali-kali! [Widiwahyu-dakwatuna]
Diposting oleh
Agus eSWe
0 komentar:
Posting Komentar