PERINDU SYURGA

Hati bersatu karena kerinduan pada Illahi

Sepakbola (kok Gak) Haram ?
By: Nandang Burhanudin

***

Sepakbola ... Lu'bah Kurratil Qadam ... Football... atau apapun namanya, telah menjadi magnet yang menyedot perhatian lintas negara, lintas keyakinan, hingga lintas agama. Korut yang komunis diterima baik oleh Inggris yang Kapitalis. Thailand yang Budha, diterima baik oleh Saudi Arabia yang Muslim.

Urusan sepakbola, pendeta-ustadz pun sepakat. Orang Arab dengan Afrika pun sama-sama bersahabat. Bahkan permusuhan terhadap warna kulit, dianggap RASIS dan berhak dihukum. Satu lagi, pegiat demokrasi dengan pegiat khilafah pun tak ada perbedaan tentang nikmatnya sepakbola. He .. he ... he ...

Seakan sepakbola meluluhkan semua kebekuan yang membatu. Bahkan di beberapa tempat, teriakan takbir dikalahkan oleh teriakan: GOOOOOLLLLLLLLL. Hingga seorang penulis bernama Masyhur bin Hasan Al Salman, menulis sebuah buku berjudul; Manfaat dan Mudarat Sepakbola dalam Tinjauan Syariat.

Kemudaratan sepakbola di antaranya:

1. Sepakbola sejak lama menjadi media memecah belah persatuan, menebar permusuhan.
2. Sepakbola hanya melahirkan fanatisme terhadap klub.
3. Sepakbola melahirkan perjudian.
4. Sepakbola tasyabbuh dengan orang-orang musyrik.
5. FIFA sebagai induk sepakbola dunia, memiliki sistem dan AD/ART sendiri yang tidak boleh diganggu gugat oleh pemerintah setempat. Aturan FIFA adalah independen.
6. Sepakbola melahirkan pemborosan waktu, materi, dan energi.

Anehnya, mengapa gaung pengharaman sepakbola tidak sederas gaung yang mengharamkan demokrasi? Apa bedanya demokrasi dengan sepakbola? Toch sama-sama tidak disebutkan Al-Qur'an, sama-sama ada manfaat dan mudaratnya, sama-sama tidak ada dalil qath'i dari Rasul, sama-sama perlu penjelasan syariat.

Bahkan sebagai orang awam, saya sering keanehan ketika menyimak ada sebagian kalangan yang mengharamkan demokrasi dengan dalih: demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat yang berhak membuat UU. Jelas ini HARAM sama dengan BABI.

Lebih rinci, kalangan ini menyoroti kebobrokan demokrasi:
1. Demokrasi memecah belah umat.
2. Demokrasi melahirkan fanatisme terhadap partai bukan Islam.
3. Demokrasi melahirkan maraknya perjudian.
4. Demokrasi tasyabbuh dengan kafir dan musyrik.
5. Demokrasi adalah sistem Barat.
6. Demokrasi menyebabkan ongkos yang mahal dan boros.

Anehnya, kalangan ini menjadi penikmat demokrasi dan hidup bebas di era demokrasi. Bahkan bebas menyatakan pendapat dengan mengkafir-kafirkan atau menganggap THAGHUT pemerintahan demokrasi dan orang yang aktif memanfaatkan demokrasi, justru di era demokrasi. Kalangan ini pun mendaftarkan diri kepada kemendagri, kementrian yang notabene adalah kementrian tangan kanan dari pemerintahan yang katanya THAGHUT.

Lucunya, saat dikonfirmasi tentang status PNS para pengusung antidemokrasi yang notabene abdi negara dan memiliki sumpah setia kepada negara yang disebut THAGHUT, mereka berdalih di balik alasan DARURAT. Nampaknya, halal-haram sesuatu saat ini lebih didasarkan pada kepentingan, bukan atas dasar maslahat Islam itu sendiri.

Terus terang saya bukan PNS, bukan pengurus partai, bukan penyuka sepakbola, tapi saat ditanya apa hukumnya Sepakbola? Saya katakan: mubah-mubah saja seperti mubahnya berdemokrasi, asalkan:
1. TIdak melalaikan dari kewajiban seperti shalat dan ibadah lainnya.
2. Tidak fanatik buta.
3. Tidak menghalalkan apa yang telah Allah haramkan.
4. Taat azas dan aturan yang berlaku.

Apalagi jika sepakbola memberi manfaat bagi kesehatan dan terjalinnya persahabatan, maka sepakbola menjadi keharusan untuk dilakukan. Sama halnya demokrasi, jika demokrasi dapat menjadi alat 'izzul Islam wal Muslimin, memperjuangkan hak-hak umat, tentu sangat dianjurkan.

Wallahu A'lam.
 
 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Perindu Syurga

Perindu Syurga
Cinta Kerja Harmoni

Arsip Tulisan

About Me

Followers

Pageviews

Hikmah Hari Ini

“Saya bersama kalian, saya berada diantara kalian, untuk memegang teguh syari’at Undang-undang. Kita mencintai Rab Kita melebihi tanah air kita, dan kita berbuat adil, adil dengan apa yang kita katakan. Kami menginginkan kemerdekaan dan keadilan untuk anak anak kita.” (Muhammad Mursi).