PERINDU SYURGA

Hati bersatu karena kerinduan pada Illahi

Jakarta-Presiden SBY angkat bicara terkait kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Sejumlah solusi disampaikan SBY untuk menengahi pertikaian itu agar tidak berlarut-larut.

Berikut ini pidato lengkap SBY pada Senin (8/10/2012):

Bismillahirrahmanirrahim.
Saudara-saudara, seluruh rakyat Indonesia di manapun saudara berada, pada malam hari ini saya ingin memberikan penjelasan yang hari-hari terakhir ini menjadi perhatian masyarakat luas. Yaitu perbedaan pandangan atau perselisihan antara pihak Polri dengan pihak KPK di dalam menjalankan tugas bersamanya, menegakkan hukum utamanya memberantas korupsi.

Kemudian dampaknya telah sama-sama kita rasakan. Oleh karena itu, saya pandang perlu sekali lagi untuk memberikan penjelasan pada malam hari ini. Kita masih ingat bahwa dulu pernah ada perselisihan antara KPK dengan Polri, ketika juga ada perbedaan pendapat antara Pak Susno dan Pak Bibit dan Pak Chandra. Sedangkan hari-hari ini situasnya berkembang ke arah yang tidak sehat.

Penjelasan ini juga saya perlukan agar ketika saya harus kembali turun tangan, rakyat bisa mengerti mengapa saya harus melakukan langkah itu. Kita mengetahui bahwa sebenarnya pihak Polri dan KPK berusaha menyelesaikan perbedaan pandangan itu merujuk pada UU dan Mou, atau nota kesepakatan. Tetapi, tidak bisa dicapai kesepakatan yang bulat. Sungguhpun demikian, saya terus terang sangat berhati-hati jika harus memasuki wilayah di mana KPK sedang bekerja. Mengapa saudara-saudara? Isunya pasti akan menjadi sensitif, dikira presiden mempengaruhi KPK.

Sekaligus pada kesempatan yang baik ini saya ingin meluruskan karena sejumlah SMS yang saya terima 2 hari lalu sampai hari ini ada yang beranggapan KPK itu di bawah presiden. Tidak. KPK adalah wilyah independen. Lima pimpinan KPK dipilih DPR RI, dan calon-calon kpk itu diseleksi oleh tim independen. Ini saya sampaikan agar tidak ada salah pengertian bahwa KPK-Polri di bawah presiden.

Kemarin Mensesneg telah berikan penjelasan. Penjelasan itu diperlukan karena saya mengikuti kegaduhan di sosial media dan SMS yang masuk ke tempat saya yang seolah-olah presiden diam saja, tidak melakukan apa-apa pada dinamika yang berakhir pada minggu ini.

Saya ingin jelaskan hari ini, tanggal 5 Oktober saya memanggil Kapolri untuk memberikan arahan untuk mengatasi perselisihan polri kpk itu. Pertemuan itu tentu sebelum terjadi insiden 5 Oktober malam hari di KPK. Setelah terjadinya insiden apa yang dilakukan Polri terhadap anggota polisi sebagai komisaris KPK Kompol Novel Baswedan, esoknya saya juga bekerja.

Waktu itu lewat Menko Polhukam saya berikan, ada Kapolri bisa bertemu pada pimpinan KPK pada hari Minggunya. Segera bertemu, agar terjadi solusi yang baik. Tapi tidak bertemu karena pimpinan KPK sedang berada di luar kota. Oleh karena itu saya setujui atas permintaan mereka karena ada sejumlah hal yang akan disampaikan kepada saya.

Saya tadi pagi juga setuju atas permintaan KPK agar Mensesneg memfasilitasi pertemuan Kapolri dan KPK. Dan alhamdulilah tadi siang saya sendiri telah bertemu dua pimpinan KPK, Abraham dan Bambang Widjojanto, dengan Kapolri didampingi Mensesneg. Pertemuan harus saya katakan berjalan baik dan konstruktif.

Saudara-saudara, penjelasan yang ingin saya sampaikan malah hari ini, saudara-saudara kami rakyat Indonesia bisa memahami duduk persoalan ini dan bisa memahami apa kebijakan, solusi dan tindakan lebih lanjut yang harapan saya bisa dijalankan bersama-sama oleh kepolisian, KPK dan kita semua. Dengan pengantar itu penjelasan ini akan saya sampaikan dalam 4 hal utama.

1. Saya akan merespons apa yang disuarakan akhir-akhir ini, apa tuntutan masyarakat agar presiden mengambil alih persolan ini.

2. Saya akan jelaskan dan sekaligus nanti solusi apa yang saya tempuh berkaitan masalah Polri dan KPK.

3. Ini kesempatan yang baik untuk sampaikan posisi dan pendapat saya terhadap pemikiran untuk melakukan revisi terhadap UU KPK.

4. Saya tutup penjelasan saya malam hari ini dengan lima kesimpulan utama yang juga merupakan solusi dan langkah ke depan yang harus dilaksanakan.

Pertama, kapan presiden harus ambil alih dalam penegakan hukum. Selama ini saya ambil dalam penegakan hukum. Peran presiden yang paling tepat adalah menengahi dan memediasi agar permasalahan itu bisa diatasi.

Saya pernah menengahi ketika ada perselisihan antara lain KPK dengan MA, itu sekitar tahun 2006, BPK dengan MA tahun 2007, KPK dan Polri tahun 2009. Tetapi Presiden tidak bisa mengintervensi apa yang dilakukan penegak hukum dalam menangani UU yang bukan kewenangan presiden.

Hal yang sama dalam menangani kewenangan penyidik itu juga berlaku bagi Jaksa Agung, KPK, kecuali ada kewenangan yang diatur dalam UU. Saudara tahu bahwa kewenangan yang diberikan presiden ada 4, yaitu pemberian grasi dan amnesti dan abolisi dengan mendengarkan DPR.

Permasalahan ini menyangkut permasalah KPK-Polri merupakan yang kedua kalinya. Saya ingat perselisihan KPK dengan lembaga yang lain dan saya ikut memediasinya. Ini yang ketiga kalinya.

Saya tidak pernah melakukan pembiaran atau melakukan mediasi. Tetapi harus dihindari presiden terlalu sering untuk ursusan penegakan hukum ini.

Lima tahun lalu saya punya inisiatif untuk pemberantasan korupsi, banyak yang kritik saya itu tidak tepat karena itu mencampuri penegakan hukum. Empat tahun lalu saya membuka antara Jaksa Agung, Polri, dan kembali saya disebut memasuki wilyah yang bukan wilayah saya.

Jika menyangkut sinergi dan koordinasi antara Polri dan KPK dan bahkan Kejaksaan Agung, sudah ada UU yang mengatur baik dalam KUHP, KUHAP maupun UU KPK. Juga sudah ada MoU antara KPK dan Polri dan juga Kejaksaan Agung. Jika MoU yang ada sekarang ini kurang memadai dan kurang tegas, silakan diperbaharui, utamanya mengenai penyidikan dan KPK mengambil alih dan bagaimana caranya mengambil alih itu. Semuanya harus mengarlir dalam UU KPK yang sekarang ini.

Saya ingin masuk dalam inti permasalahan apa yang terjadi KPK dan Polri serta solusi serperti apa yang harus dijalankan. Ada perbedaan pandangan:

1. Pandangan siapa yang menangani persoalan simulator SIM

2. Penanganan personel penyidik KPK dari Polri

3. Insiden tanggal 5 Oktober seputar rencana elemen Polri untuk menegakkan hukum atas seorang perwira polri yang diduga melanggar hukum beberapa tahun lalu.

Tiga hal itulah yang akan saya respons dan solusi jalan keluarnya.

1. Kasus simulator SIM.

Saya ingin jelaskan setlah ada perselisihan KPK-Polri setelah kasus simulator SIM, kepada saya dilaporkan kepada Polri setelah pertemuan Polri-KPK disepakati bahwa Irjen Djoko Susilo ditangani KPK sedangkan sisanya ditangani Polri. Ternyata sikap pada KPK kepada publik tidak seperti itu.

Itulah sebabnya saat berpuka puasa bersama di Polri dan saya bertemu pimpinan KPK dan Polri kepada beliau berdua, sesuai UU dan MoU bisa lakuan kerja sama yang konstruktif agar kasus simulator itu bisa dilaksanakan dengan efektif dan tuntas.

Pasca pertemuan itu dalam pelaksanaan penuntasan yang melibatkan KPK dan Polri dilibatkan kerja sama sebaik-baiknya termasuk saling membantu satu sama lain. Di luar itu Menko Polhukam juga terus bekerja untuk menengahi perselisihan dalam kasus itu. Dalam menjalankan roda pemerintahan itu ada sistem dan aturannya. Tentu tidak semua ditangani presiden. Ada menteri, ada lembaga kementrian, di daerah ada gubernur dan wali kota dan sebagainya. Mereka juga memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

Kembali pada isu ini, tampaknya koordinasi dan sinkronisasi itu tidak berjalan baik. Oleh karena itu solusi yang kita tempuh adalah penanganan korupsi kepada Djoko Susilo ditangani oleh satu lembaga yaitu KPK, karena kalau ada penuntutan pejabat yang melakukan itu akan dituntut bersama. Ini juga sesuai UU 30/2002 tentang KPK pasal 50.

Tetapi kalau ada kasus pengadaan barang di Polri saya dukung diselesaikan di Polri, saya katakan Polri juga akan melakukan penertiban pengadaan barang di Polri. Dalam hal ini saya ucapkan terimakasih kepada Polri yang melakukan penuh dan ini menunjukkan Polri serius menangani kasus ini.

2. Menyangkut perbedaan pandangan antara Polri dan KPK berkaitan dengn penugasan perwira Polri di KPK. Aturan yang berlaku adalah peraturan pemerintah pasal 5 ayat 3 bahwa masa penugasan pegawai negeri paling lama 4 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali, saya ketahui penyidik itu harus mengikuti alih penugasan, tour of duty, ini berlaku bagi setiap perwira polri apalagi mereka yang di KPK personel yang baik sehingga tumbuh menjadi pejabat-pejabat di teras Polri.

Di sisi lain, hal itu tidak baik karena hal itu terlau cepat sehingga menghambat tugas-tugas penyidikan. Misalnya akan melakukan alih status menjadi penyidik KPK dalam arti harus berhenti dari Polri itu ada aturannya. Peraturan alih status ini juga berlaku bagi TNI dan penugasan lain. Bahkan alih status untuk perwira tinggi perizinannya hinga tingkat presiden.

Solusi yang ditempuh adalah kita akan keluarkan peraturan baru, bahwa penyidik Polri ke KPK selama 4 tahun dan bisa diperpanjang asal ada persetujuan Kapolri, misalnya. Tetapi jika hal demikian tetap dianggap tetap memutus efektivitas KPK, maka anggota tersebut diberikan kesempatan untuk alih status. Tidak dibenarkan secara sepihak KPK memberhentikan penyidik itu karena mereka terikat UU dan etika kepolisian. Sebaliknya pula Polri tidak menarik penyidik tersebut tanpa persetujuan dari KPK. Oleh karena itu, dalam hal ini saya akan keluarkan peraturan pemerintah yang tepat baik untuk KPK dan baik untuk Polri berkenaan kebijakan tugas personel Polri untuk mengemban tugas bagi penyidik. Itu isu kedua bagi KPK.

3. Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru.

Jika KPK dan Polri bisa jelaskan penjelasan yang jujur dan jelas, maka masalahnya tidak menjadi luas seperti ini. Terhadap hal ini saya telah berikan pendapat terhadap pertemuan tadi siang yang saya pimpin. Tapi saya akan sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar seluruh situasi diletakkan secara menyeluruh diletakkan dalam konteks yang benar.

Kalau kita merujuk pada UUD 45 semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. Sehingga bila terbukti ada kejahatan yang terbukti oleh WNI mestilah hukum itu ditegakkan, apakah itu dia presiden, anggota Polri, anggota DPR, anggota KPK, wartawan, TNI dan siapa pun. Kesamaan kedudukannya dalam hukum dengan pemahaman konstitusi maka jika ada anggota KPK melakukan pelanggaran hukum, tidak boleh dikatakan kriminilisasi KPK.

Laporan yang saya terima dugaan pelanggaran hukum terhadap anggota Polri di KPK tidak terkait tugasnya sebagai penyidik KPK, tetapi terjadi 8 tahun yang lalu. Di dalam hukum semuanya harus merujuk secara baik dalam hukum dan UU yang berlaku. Jangan misalnya ada anggota Polri yang melaksanakan tugas untuk melakukan penyidikan kasus SIM tersebut, tidak boleh. Sebaliknya, ada anggota yang divonis dilihat sebagai upaya kriminilisasi KPK.

Menurut pandangan saya sangat tidak tepat kalau ada proses Komisari Polisi Novel Baswedan sekarang ini, timingnya tidak tepat dan pendekatan dan caranya juga tidak tepat. Itu pandangan saya, dan kira-kira solusi menyangkut tiga hal yang juga merupakan perselisihan KPK-Polri.

Berikut ini saya akan sampaikan pendapat saya dan pandangan saya mengenai revisi UU KPK. Saya berpendapat peraturan untuk merevisi UU harus dilandasi niat baik. Jika DPR memiliki pemikiran revisi ini, mesti dijelaskan apa dan mengapa itu harus direvisi.

Terhadap masyarakat dan aktivis, sebaiknya juga bersedia mendengarkan itu jangan itu divonis seolah-olah memperlemah KPK. Setelah mendengarkan DPR, masyarakat luas, dan aktivis bisa menyampaikan pandanganya bisa setuju atau tidak setuju. Namun perlu diketahui bahwa konstitusi diperlukan untuk menyusun UU jika setelah UU itu diterbitkan masih terbuka masyarakat luas menyatakan ketidaksetujuannya, terhadap MK untuk apakah UU itu bertentangan UUD. MK juga tunduk pada aturan lain, bahwa UU itu diuji apakah bertentangan dengan UUD.

Sehubungan dengan itu semua, pandangan saya terhadap DPR untuk revisi UU KPK sebagai berikut, prinsip dasar saya tetap sama pada tahun 2009, saat waktu itu ada wacana peranan KPK. Saya tidak setuju dan menolak setiap upaya untuk memperlemah KPK. Sampai saat ini saya tidak tahu konsep seperti apa DPR mau merevisi UU KPK itu.

Jika revisi itu untuk memperkuat KPK tentu saya sesuai ketentuan UU dalam posisi yang siap untuk membahasnya. Di tengah realitas sulitnya memberantas korupsi saat ini, adalah kita harus tingkatkan intensitas pemberantasan korupsi dan bukan mengendorkannya.

Di satu sisi kita berharap pada KPK untuk menjadi motor KPK dalam pemeberantasan korupsi. Di sisi lain kita juga berharap pada Polri dan kejaksaan. Terhadap rakyat menyangkut pengadilan pemberantasan korupsi ini saya berharap untuk dijadikan cambuk dan semangat untuk penyelesaian pemberantasan korupsi di lembaga masing-masing. Saya mendukung seluruh upaya KPK dan menolak untuk melemahkan KPK. Harus dikatakan bahwa penyelesaian KPK saat ini kurang tepat ketimbang bekerja sama di dalam. Menurut saya kritik itu perlu didengar, dan jika didengar itu akan meningkatkan kerja KPK yang sudah baik saat ini.

Sebagaimana saya sampaikan pada pidato saya 16 agustus lalu saya sampaikan lagi terima kasih pada KPK dan harapan saya agar seluruh penegak hukum untuk bekerja baik dan tidak bekerja tidak sehat untuk selesaikan kasus korupsi, bukan menghambat dan menutupinya. Banyak yang telah kita capai selama ini, marilah momentum sejarah ini tidak kita sia-siakan. Dan aset negara jangan sampai bocor. Kembali kepada revisi UU KPK atas situasi yang terjadi di Tanah Air, menurut pendapat saya lebih baik kita menggiatkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan sinergi lagi agar lebih berhasil lagi upaya kita memberantas korupsi daripada perhatian energi kita terkuras untuk melakukan untuk revisi UU KPK.

Saudara-saudara, dengan penjelasan yang telah saya sampaikan tadi, saya akan akhiri dengan kesimpulan utama yang tentunya juga berupa solusi dan langkah-langkah yang mesti kita laksanakan ke depan.

1. Penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo agar ditangani KPK dan tidak pecah. Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung.

2. Keingingan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kombes Novel Baswedan saya pandang tidak tepat baik dari segi timing maupun caranya.

3. Perselisihan yang menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK perlu diatur kembali dan akan saya tuangkan dalam peraturan pemerintah, saya berharap nantinya teknis pelaksanaan juga diatur dalam MoU antara KPK dan Polri.

4. Rencana revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan. Tetapi saya pandang kurang tepat untuk dilakukan sekarang ini. Lebih baik kita tingkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi.

5. Saya berharap agar KPK dan Polri dapat memperbarui MoU-nya dan kemudian dipatuhi dan dijalankan serta dilakukan sinergi sehingga peristiwa seperti ini tidak terus berulang di masa depan. Saya mencatat banyak peristiwa di mas lalu yang baik antara Polri dan KPK. Contohnya kerja sama mencari dan menemukan tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri berhasil dengan baik sinerginya dan dan kerja samanya.

Sementara Polri juga mencatat prestasi di sejumlah bidang misalnya pemberantasan terorisme, kejatan narkotika dan kejahatan jalanan. Juga prestasi pengamanan dan pengaturan kegiatan nasional mudik Lebaran dan peringatan hari-hari besar yang lain. Semangat, energi dan kinerja seperti ini saya yakini dapat dijadikan modal untuk bersinergi dengan KPK untuk melaksanakan tugas memberantas korupsi.

Ini akan menjadi keputsusan saya dan akan menjadi solusi dalam pertemuan siang tadi. Demikian.

sumber: detik.com

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Perindu Syurga

Perindu Syurga
Cinta Kerja Harmoni

Arsip Tulisan

About Me

Followers

Pageviews

Hikmah Hari Ini

“Saya bersama kalian, saya berada diantara kalian, untuk memegang teguh syari’at Undang-undang. Kita mencintai Rab Kita melebihi tanah air kita, dan kita berbuat adil, adil dengan apa yang kita katakan. Kami menginginkan kemerdekaan dan keadilan untuk anak anak kita.” (Muhammad Mursi).