Saya Menolak GOLPUT! Kader-kader Dakwah Harus Menang!
By: Nandang Burhanudin
****
Silahkan
anda berdebat tentang golput haram atau tidak. Bagi saya, pemahaman
tentang fiqh maqoshid, fiqh nawazil, fiqh ash-shiroo' sudah cukup
menjadi bahan mengapa dari dulu saya tidak pernah Golput. Sejak boleh
memilih, saya mencoblos PPP. Hingga akhirnya beberapa kali saya memilih
PKS.
Mungkin akan ada yang komen, "Siapa elo?
Emang elo penting bangeeddh gitu buat gua?" Jawabannya: saya tidak
penting-penting amat. Namun alasan-alasan menolak Golput, mungkin cukuup
jadi penjelasan.
Alasan Pertama: Menentukan
calon di Parlemen atau eksekutif, sama dengan melepaskan unek-unek dan
energi harapan yang tidak bisa diperjuangkan sendirian atau hanya oleh
yayasan.
Terlepas dari plus minus Kang Aher-Om
Dedy Mizwar, namun model kepemimpinannya lebih "sejuk" dibanding
Jokowi-Ahok. Setidaknya bantuan-bantuan Gubernur untuk pendidikan dan
masjid-masjid lebih cepat mengalir. Sedang di era Jokowi-Ahok, sudah
sekian masjid yang dihancurkan. Saat khilaf, Kang Aher lebih mudah
dikritisi oleh siapapun. Demikian dengan kepemimpinan Kang Ridhwan
Kamil-Mang Oded. Karnya nyata lebih bisa dirasakan. Minimal adalan
penataan kota Bandung yang semrawut dan amburadul, menjadi lebih nyaman
dan enak dipandang. Bukankah sisi-sisi positif di atas tidak bisa
dilakukan oleh saya sendiri atau oleh yayasan? Belum lagi dana
pendidikan gratis untuk SD-SMP-SMA se-Jabar. Apakah itu bisa dilakukan
ormas atau partai sendirian? Tentu tidak.
Bayangkan
jika kita memilih calon parlemen orang yang kita kenal dan mudah
diingatkan! Saya sempat beberapa kali menegur anggota dewan yang
keasyikan dengan rutinitas kerja kantoran dibanding dakwah di parlemen
dan menjadi advokat bagi kepentingan orang banyak. Saya melakukan itu
karena saya ikut memilih! So, wajar jika saya mengingatkan! Namun apakah
wajar jika yang Golput, menolak datang ke TPS, lalu mengkampanyekan
tidak nyoblos kemudian datang meminta-minta advokasi dari parlemen?
Alasan
kedua: Menentukan pilihan partai dan calon legislatif atau eksekutif,
bagi saya mencerminkan tingkat kematangan usia dan pencapaian
produktivitas.
Pada kenyataannya, suara-suara
golput memang ada dan sah di alam demokrasi. Namun fiqh maslahat (bukan
muslihat ya!), harus menjadi ukuran. Di Tunisia, partai An-Nahdhah yang
berhaluan Islam (Ikhwanul Muslimin) kini memboikot pemilu. Alasannya
karena kaum Liberal-Sekuler-Noni selalu mengganggu pemerintahan yang
"sah" dan hasil Pemilu pascarevolusi menumbangkan Zainal Abidin ben Ali.
Pemboikotan dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir, melaui partainya FJP
dan juga Hizb Al-Wasath. Seruan golput menjadi penting, karena
kezhaliman yang nyata.
Namun di Indonesia, justru
sebaliknya. Umat Islam cenderung dibodohkan oleh sistem dan rejim-rejim
di masa lalu. Kaum sekuler-liberal-Noni-dan aliran sesat melakukan
mobilisasi massa di tempat-tempat ibadat, di kajian-kajian, bahkan di
media-media massa yang 98 % dimiliki mereka. Lalu apa yang akan terjadi
jika muslim mayoritas Sunni dikomando untuk memboikot Pemilu? Karena
ternyata seruan golput justru dilakukan ormas atau orpol yang bukan
partai politik resmi (terdaftar dan perserta pemilu). Namun oleh
organisasi jalanan yang tidak jelas jenis kelaminnya. Jika di
MEsir-Tunisia, kekuatan Golput jelas menjadi tolok ukur dan
preasurepower. Sedangkan di Indonesia? Saya yakin, the show must go on.
Saat itu, pelaku-pelaku show adalah Noni-Aliran Sesat-Sekuler-Liberal.
Lalu setelah dikuasai mereka, kita mau mengadu kemana? Jangan bilang
mengadu kepada Allah! Karena kita sendiri tidak sudi menjaga amanah
Allah.
Jadi memilih adalah cerminan kematangan
dan pencapaian produktivitas kerja dan kinerja. Semakin banyak mengaji
semakin anti memberi manfaat, maka dipastikan pengajiannya salah resep
atau salah tafsir!
Alasan Ketiga: Menentukan pilihan di Pemilu adalah cerminan dari internalisasi hubungan baik dengan sesama manusia yang lain.
Kebetulan
kawan-kawan dan sahabat-sahabat saya banyak yang mencalonkan diri
melalui PKS, maka secara pribadi saya akan menyalurkan suara kepada
sahabat-sahabat PKS. Selama PKS ada, saya belum mendapatkan apapun.
Termasuk dari Gubernur Jabar. Namun itu bukan alasan saya untuk tidak
mendukung. Karena manfaat keberadaan kader-kader PKS yang juga
sahabat-sahabat saya, memberikan sumbangsih positif bagi masyarakat yang
lain. Dengan memberikan 1-5 suara, semoga para pemimpin yang terpilih
dari PKS bisa menyampaikan amanat kebermanfaatan bagi seluruh umat. Saya
tidak setuju dengan paham yang mudah mengkafir-kafirkan. Karena masalah
kafir itu sudah jelas aturannya dari syariat Allah. Terlalu sibuk
mengkafirkan orang lain hanya karena beda jalan perjuangan,
ujung-ujungnya malah diri sendiri yang kufur nikmat karena minim
manfaat.
Ketiga alasan minimal di atas, menjadi
penyemangat saya untuk selalu bergerak dan terus bergerak mencari
sahabat. Jika mereka terpilih, saya akan tuntut komitmen
Cinta-Kerja-Harmoni yang selama ini dikampanyekan. Jika tidak siap,
sepatutnya tidak usah kebanyakan gaya ingin menjadi pemimpin publik.
Harapan ada di depan! Sayang kita memilih mundur ke belakang, dengan bersikap pasif dan negatif!
Diposting oleh
Agus eSWe
0 komentar:
Posting Komentar