Cahaya Yang Tersenyum | Mengenang, 2 Tahun Wafatnya Sang Muharrik Dakwah
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggudan mereka
tidak merubah (janjinya)” QS.Al Ahzab:23
Dua tahun sudah
sejak kepergian Ustaz Nurhuda Trisula, Muassis (pendiri) dakwah
Kalimantan Timur yang lewat tangannya, hidayah Allah menyentuh sanubari
ribuan manusia. 28 Januari 2012, beliau wafat setelah mengalami stroke
untuk kedua kalinya. Cukuplah kematian menjadi nasihat terbesar, dan
cukuplah perjalanan hidup beliau menjadi hikmah.
Ustaz Nurhuda,
sapaan akrab Ustaz Nurhuda Trisula, lahir di keluarga sederhana sebagai
putra ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya Alm.Noorman dulunya adalah
seorang aktifis partai politik, sedangkan Ibunya Nasikin adalah
seorang kepala sekolah di salah satu SD di Blitar. Sejak kecil beliau
memang sangat mencintai ilmu. Pagi sekolah, sore belajar di diniyah
(pendidikan agama), malam Ustaz Nurhuda kecil belajar bahasa arab di
masjid kampung berbekal obor untuk menerangi perjalanan.
Tidak hanya itu, sejak awal dia juga sudah sangat bersemangat
berbagi ilmu. Ibunya mengisahkan, sejak SMP Ustaz Nurhuda sudah
terbiasa mengajar les matematika untuk adik kelas dan kawan sebayanya.
“Tris (Panggilan Ustaz Nurhuda), anak saya yang tidak pernah
menyusahkan orang tua. Dari kecil sudah bisa cari uang sendiri, ngajar
les sama ngompreng angkot. Sampai kuliah pun dia malah digaji karena
kuliah dikampus dengan ikatan dinas,” tuturnya.
Tidak heran,
beberapa bulan sebelum wafat beliau sempat menyampaikan keinginannya
untuk kuliah lagi dibidang psikologi. “Biar nyambung kalo ngobrol dengan
Dek Win,” begitu katanya pada sang istri, Purwinahyu, yang memang
lulusan Psikologi Universitas Indonesia (UI).
Bu Win, sapaan
akrab Purwinahyu, menceritakan bagaimana mereka menikah. “Saya tidak
pernah kenal dengan almarhum. Akhir januari 1993, guru ngaji saya bilang
kalau ada ikhwan mau datang setelah Salat Maghrib. Tapi dia ternyata
baru datang jam 11 malam, karena sedang berada di tengah-tengah acara
muqayyam (perkemahan). Datang pun langsung akad nikah, tanpa ta’aruf
(berkenalan) dan lain sebagainya. Pasca akad nikah beliau kembali ke
acara muqayyam ,” ujar Bu Win sambil tersenyum, mengingat betapa cepat
nya proses pernikahan mereka. Resepsinya sendiri baru berlangsung
sekitar 1,5 bulan setelahnya.
1994, Ustaz Nurhuda memboyong Bu
Win ke Samarinda, saat dakwah benar – benar baru dirintis. Bu Win
mengisahkan saat itu, mereka masih mengontrak sebuah rumah dengan 2
kamar. Satu kamarnya sengaja dikosongkan untuk tempat liqo’ (Pengajian).
Tidak jarang Bu Win pun diungsikan ke rumah saudara yang lain, karena
rumah kontrakan mereka selalu jadi pilihan utama untuk lokasi dauroh
(pelatihan dakwah ).
“Bahagia rasanya walau rumah kami sederhana, tapi bisa bermanfaat untuk dakwah,” ungkapnya.
1998, saat Partai Keadilan (PK) berdiri, Ustaz Nurhuda yang saat itu
berstatus sebagai PNS di kantor pajak memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya. Dia ingin mengabdikan diri sepenuhnya pada dakwah. Padahal
tempat Ustaz Nurhuda bekerja kala itu (bahkan sampai sekarang), dikenal
sebagai ‘lahan basah’. Banyak orang berlomba-lomba untuk masuk ke zona
tersebut.
Tapi komitmen Ustaz Nurhuda sebagai seorang Da’i ,
mengalahkan segala tipuan kesenangan duniawi. Ustaz Nurhuda ketika itu
mengatakan pada sang istri agar tidak takut akan rezeki.
Sebab dia berkeyakinan semua itu sudah diatur Sang Maha Kaya. “Gak usah khawatir, rezeki itu Allah yang ngatur.
Aku bisa ngajar, jadi penjaga masjid (marbot), atau apa lah yang
penting halal,” katanya pada sang istri Sebuah pelajaran tentang
bagaimana menjaminkan diri pada Allah SWT, bahwa dakwah memang tidak
mengenal sikap ganda. Hanya totalitas dan Allah akan meminta semuanya.
2005, Ustaz Nurhuda terserang stroke.
Dari kisah Bu Win, saat
itu Ustaz Nurhuda kehilangan nyaris seluruh kemampuannya. Ustaz Nurhuda
tidak dapat berbicara, membaca dan menulis. ditengah sakitnya, sering
sekali Ustaz Nurhuda menangis. Setelah sembuh barulah sang istri
bertanya prihal tersebut. “Waktu itu kenapa koq sering menangis?” Apa
jawaban Ustaz Nurhuda? “Aktivis dakwah dipersiapkan untuk menanggung
beban da’wah, tidak ada kata istirahat. lah ini koq aku malah jadi
beban”.
Masya Allah, bukan rasa sakit yang Ustaz Nurhuda
tangisi, melainkan ketidakmampuan menjalankan amanah dakwah karena
kondisi fisik yang sedang sakit.
Perasaan cintanya pada amanah-
amanah dakwah itu yang menjadi latar belakang, semangatnya untuk
sembuh. Dokter ahli bedah syaraf pun mengatakan pada istrinya, tidak
pernah ada pasien stroke sebelumnya yang sembuh lebih cepat dari Ustaz
Nurhuda.
Saat dokter menyarankan untuk fisioterapi, beliau
langsung mengiyakan, bahkan meminta jadwal terapi setiap hari.
Belakangan Ustaz Nurhuda baru jujur, bahwa dari seluruh rasa sakit yang
pernah dirasakan, tidak ada yang mengalahkan sakitnya saat menjalani
fisioterapi pasca terserang stroke. Keinginan untuk segera berkontribusi
bagi dakwahlah yang memberikan kekuatan menahan semua rasa sakit
tersebut.
Pernah suatu hari, saat Ustaz Nurhuda belum dapat
berbicara dan berjalan pun masih harus menggunakan tongkat. Dia
bersikeukeuh untuk ikut rapat di Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS. Bu
Win yang ikut menemani (sebenarnya Ustaz Nurhuda memang belum diizinkan
untuk beraktivitas) bercerita, saat itu Ustaz Nurhuda dengan semangat
berangkat ke DPW PKS. Ustaz Nurhuda seringkali mengangkat tangannya saat
pemimpin rapat meminta usulan, walau saat itu tak satu kata pun bisa
beliau ucapkan. Keinginannya untuk berkontribusi tak terbendung.
Ustaz Nurhuda tidak pernah mau diistimewakan walaupun dengan kondisi
fisik yang tidak lagi 100 persen sehat pasca terjangkit stroke. Penulis
mendapat kisah dari seorang ikhwan kepanduan, saat muqayyam , Ustaz
Nurhuda ikut menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, walau ikhwah yang
lain sudah memaksanya naik ke mobil panitia. Ustaz Nurhuda tidak pernah meminta rukhsah untuk tidak hadir rapat atau agenda-agenda dakwah lain hanya karena sakit.
Ustaz Masykur Sarmian saat memberikan sambutan dipemakamamnya
mengisahkan, pernah dalam sebuah forum yang berlangsung hingga larut
malam, gurat-gurat kelelahan itu sudah sangat terlihat, namun Ustaz
Nurhuda tetap mengikuti acara tersebut hingga selesai, lengkap dengan
kontribusi ide untuk kemajuan dakwah. Kadang rekan- rekannya di DPW
terpaksa tidak mengundang beliau untuk rapat atau bahkan berpura-pura
mengakhiri rapat agar beliau pulang dan istirahat.
Hidupnya memang hanya tentang dakwah, nafasnya adalah dakwah, detak jantungnya adalah dakwah.
Sebelum terkena serangan stroke yang kedua, Ustaz Nurhuda berkata pada
seorang ikhwah. “Saya ini kalau kena stroke lagi, alamat 80 persen
wafat” candanya. Wajah nya tenang, tak ada ketakutan. Ikhwah tersebut
kemudian menyarankan Ustaz Nurhuda untuk memperbanyak istirahat. Tapi
apa jawabannya! Sambil tersenyum dia berucap “Akhi , justru di saat-saat
seperti ini saya harus semakin banyak bekerja. Mana tau kalau ternyata
itu adalah kontribusi terakhir saya untuk dakwah.”
Begitulah
Ustaz Nurhuda. Takkan cukup kata-kata untuk menggambarkan betapa
istimewanya beliau dihati kader- kader PKS Kaltim. Dia seperti namanya
“Nurhuda” menjadi perantara cahaya petunjuk bagi manusia dan selalu
tersenyum dalam kondisi seberat apapun. Usia biologisnya boleh hanya 42
tahun, namun usia historisnya tidak akan lekang ditelan masa.
Jasadnya boleh pergi meninggalkan kita semua, tapi ruh dan semangat
perjuangannya akan terus hadir, akan semakin menguatkan tekad kita untuk
menjaga dan memenuhi janji pada Allah SWT, seperti yang selama ini
beliau contohkan, sampai kaki menginjak Syurga.
Ila Liqo ya
Syaikh. Sungguh engkau hanya mendahului kami, kelak kami semua akan
menyusulmu. Kami berjanji sepenuh hati dan Allah menjadi saksi, akan
kami lanjutkan perjuanganmu, akan kami rawat pohon yang 20 tahun lalu
kau tanam dengan penuh cinta. Dan semoga nanti di suatu sore yang
tenang, di sebuah sudut di dalam Syurga, Allah berkenan untuk
mempertemukan kita kembali. Semoga Allah membayar segala pengorbananmu
dengan tegaknya Islam di Negeri ini.
CAHAYA YANG TERSENYUM Oleh Hadi Mulyadi, Ketua DPP PKS Wilda Kalimantan
Sabtu itu terasa kelabu dalam hidupku Engkau mendahului meninggalkanku Mendahuluiku untuk menjalani fase kehidupan baru Kehidupan baru seorang mujahid untuk bertemu Kekasihmu…
Aku berusaha tegar menghadapi semua itu Kusimpan dalam- dalam tangis dan sedihku Tapi tetap aku tak sanggup dan lepas dalam haru biru…`
Sekarang tinggal kenangan Lebih dua puluh tahun kita berteman Suka dan duka kita lewati dengan penuh kesan Hal yang tidak pernah kulupakan Kesungguhanmu dalam memikirkan segala urusan…
Keteguhanmu mengalahkan gunung yang tertancap kuat di bumi Kekuatan azammu mengalahkan kuatnya biji besi yang menjadi baja Ketulusanmu mengalahkan tiupan angin dengan segala kelembutan dan kekuatannya Panjangnya amalmu mengalahkan panjangnya aliran air yang mengalir dari mata air di gunung hinggga ke samudra lautan…
Pohon yang kau tanam dua puluh tahun yang lalu Kini sudah mulai berbunga, mekar dan harum Sudah memulai berbuah memberi manfaat bagi ummat dan masyarakat… Pohon itu tidak akan pernah mati Dia akan terus memberi manfaat Dan akan menjadi buah bagi orang lain di dunia dan menjadi kiriman bagimu di akhirat…
Saudaraku Nurhuda Sesuai dengan namamu Kau selalu menjadi cahaya bagi sesama Dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus…
Engkau bagai Matahari yang selalu memberi cahaya kebenaran Bagai bulan yang menerangi dengan kelembutan Bagai embun yang tak henti meneteskan air Bagai api yang tak henti menyala…
Kau telah membawa cahaya dan petunjuk Aku dan semua saudaramu akan menyimpan baik-baik cahaya itu Dan akan kami tebarkan ke penjuru dunia Untuk menerangi yang gelap…
Sekarang kami tahu Bahwa kau sedang tersenyum bersama Kekasihmu… Rasulullah… Tersenyum melihat bunga dan buah yang kau tanam Tersenyumlah selalu Sampai aku menyusulmu dengan senyum pula…
0 komentar:
Posting Komentar