PERINDU SYURGA

Hati bersatu karena kerinduan pada Illahi

Mohon Baca Artikel Ini Sampai Habis secara Perlahan.
Penjelasan Singkat secara Keilmuan


Awal Ramadhan 1433 H – HISAB (Perhitungan):
Secara Hisab, konjungsi atau ijtimak akhir Sya’ban 1433 H akan jatuh pada Kamis 19 Juli 2012 jam 11:25 WIB. Maka awal Ramadhan 1433 H akan jatuh pada Jum’at 20 Juli 2012, karena perhitungan ilmu falak kontemporer, Hilal pada sore hari Kamis 19 Juli 2012 sudah positif di seluruh wilayah Indonesia. Ormas yang menggunakan kriteria HISAB ini akan memulai berpuasa pada Jum’at , 20 JULI 2012.

Awal Ramadhan 1433 H – Rukyat: -Istikmal Sya’ban 1433 H-
Dari pelabuhan Ratu: Hilal pada Kamis 19 Juli 2012 baru setinggi 1,5 derajat. Meski elongasi di atas 4 derajat, namun karena usia juga baru 6,5 jam ; maka dipastikan secara Imkan Rukyah juga mustahil terlihat/terpenuhi. Sehingga sore harinya, atau esok harinya Jum’at 20 Juli 2012 masih masuk bulan Sya’ban 1433 H alias Istikmal untuk Sya’ban 1433 H.


Sehingga, Pemerintah RI yang menggunakan kriteria Imkan Rukyah dan ormas yang menggunakan kriteria Rukyat kemungkinan akan mulai berpuasa pada Sabtu, 21 juli 2012. Simulasi Visibiltas Hilal dari Surakarta, pada hari pertama Rukyah (hari konjungsi/ijtimak): (Lihat Gambar)

Kesimpulan :
HISAB –> 1 Ramadhan 1433 H = Jum’at, 20 Juli 2012 M
RUKYAH –> 1 Ramadhan 1433 H = Sabtu, 21 Juli 2012 M
=======================================

Penjelasan Syar'i

Oleh Ustadz Farid Nu'man Hasan

//Tulisan ini hanya bermanfaat bagi orang yang masih mengakui pemerintah RI sebagai pemimpin mereka, betapa pun fasiq dan zalimnya. Ada pun pihak yang telah sampai taraf mengkafirkan pemerintah RI – yang dengan pengkafiran itu tidak mungkin mereka mentaatinya, tentu tulisan ini sama sekali tidak menbawa dampak apa-apa kecuali penolakan. (Ustadz Farid Nu'man)//

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Ibnu Majah No. 1660, Ad Dailami No. 3819, Ad Daruquthni 2/164, Musnad Asy Syafi’i No. 315, Imam At tirmidzi mengatakan: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Ash Shahihah No. 224)

Hadits ini menjelaskan bahwa hendaknya kita berpuasa, Idul Fitri, dan Idul Adha ketika manusia melakukannya, jangan menyendiri.

Imam At Tirmidzi menjelaskan:

“Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)

Imam Al Munawi berkata:

Yaitu berpuasa dan berbuka bersama jama’ah dan mayoritas manusia. (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/208)

Imam Al Munawi mengutip dari Imam Ad Dailami dalam kitab Musnad Firdaus sebagai berikut:

Berkata di dalam Al Firdaus: sebagian ulama menafsirkan, katanya: “Puasa, Idul fitri, dan Idul adha bersama jamaah dan mayoritas manusia.” (Faidhul Qadir, 4/320)

Fatwa ulama Arab Saudi sendiri pada lembaga fatwa Al Lajnah Ad Daimah, tentang sekelompok manusia yang berpuasa, beridul fitri, dan idul adhanya berbeda dengan orang-orang kebanyakan, lantaran tidak mengikuti ru’yah di negerinya, justru Lajnah Daimah menganjurkan berhari raya bersama manusia di negerinya masing-masing. Fatwa tersebut:

Wajib atas mereka berpuasa bersama manusia, beridul fitri bersama manusia, dan shalat idain (Idul fitri dan Idul Adha) bersama kaum muslimin di negeri mereka. … (Al Khulashah fi Fiqhil Aqalliyat, 4/31)

Fatwa Syaikh Muhamma bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: jika terjadi perbedaan hari Arafah disebabkan oleh perbedaan negara yang berbeda mathla’ hilalnya apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negara tempat kita berada, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Makkah dan Madinah)?

Syaikh yang mulia menjawab: Jawaban pertanyaan ini adalah berdasarkan perbedaan pendapat ulama, apakah ru’yah hilal itu satu di seluruh dunia ataukah berbeda menurut perbedaan mathali’ (tempat terbitnya hilal)?

Yang benar adalah ru’yah itu berbeda sesuai perbedaan mathali’. Misalnya jika hilal telah di ru’yat di Makkah dan tanggal hari ini di Makkah adalah tanggal 9 Dzulhijjah, lalu di negeri lain hilal telah dilihat sehari sebelum ru’yat Makkah, sehingga hari ini di tempat itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, maka penduduk negeri tersebut tidak boleh berpuasa hari ini karena bagi mereka ini adalah Idul Adha. Begitu juga jika ditakdirkan hilal terlihat di negeri tersebut sehari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 di Makkah adalah tanggal 8 di negeri mereka, maka mereka tetap berpuasa esok hari (tanggal 9 di negeri mereka) bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Makkah. Inilah pendapat yang raajih (kuat). Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah, dan jika kamu melihatnya maka berharirayalah). Mereka yang di negerinya hilal belum muncul tidak bisa melihatnya, sebagaimana manusia (kaum muslimin) sepakat bahwa mereka menggunakan terbit fajar dan terbenamnya matahari sendiri-sendiri sesuai lokasi negeri mereka, begitu pula dengan penetapan waktu bulanan ia seperti penetapan waktu harian. (Majmu’ Fatawa wa Rasail No. 405. Darul Wathan – Dar Ats Tsarayya)

Imam Ash Shan’ani mengatakan dengan tegas :

“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang diambil ‘ibrah dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’idul Fithri atau pun berkurban (Idul Adha). At Tirmidzi telah meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Abu Hurairah, dan dia berkata: hadits hasan. Dan semakna dengan ini adalah hadits Ibnu Abbas, ketika Kuraib berkata kepadanya, bahwa penduduk Syam dan Muawiyah berpuasa berdasarkan melihat hilal pada hari Jumat di Syam. Beliau dating ke Madinah pada akhir bulan dan mengabarkan kepada Ibnu Abbas hal itu, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya: “tetapi kami melihatnya (hilal) pada sabtu malam, maka kami tidak berpuasa sampai sempurna tiga puluh hari atau kami melihatnya.” Aku berkata: “Tidakkah cukup ru’yahnya Mu’awiyah dan Manusia?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kami.” (Subulus Salam, 2/63)

Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:

Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)

Apa yang dikatakan oleh Imam Abul Hasan As Sindi, bahwa penentuan masuknya Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha merupakan domain dan wewenang pemerintah, tidak berarti mematikan potensi umat dan ormas. Mereka boleh saja memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah tetapi keputusan terakhir tetap di tangan pemerintah, dan hendaknya mereka legowo menerimanya, sebagai bukti bagusnya adab hidup berjamaah.

Syaikh Al Albani berkata – dan ini adalah komentar yang sangat bagus darinya:

“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Id, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat Radhiallahu ‘Anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.

Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al Jama’ah.” (As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)

Wallahu A’lam ..


// Kenapa Ikut Pemerintah?

Ada beberapa alasan kenapa berhari raya sebagusnya mengikuti pemerintah:

1. Keumuman dalil surat An Nisa ayat 59: Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum ….

Imam Al Baidhawi menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan ulil amri -‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

Sebagian muhaqqiq (peneliti) dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)

Dan masalah penentuan hari raya tak ada kaitan sama sekali dengan perintah “keharaman”.

2. Keumuman dalil hadits-hadits nabi untuk mentaati pemimpin selama bukan dalam perintah maksiat.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah mentaatiku. Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika rakyatnya diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah dengan ketaqwaan kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika dia mengatakan selain itu, maka dosanya adalah untuknya.” (HR. Bukhari No. 2957, Muslim No. 1835, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 7816, Ibnu Majah No. 2859. Ahmad No. 7434)

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Bukhari No. 7257, Muslim No. 1840, Abu Daud No. 2625, Ahmad No. 724, dll)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari No. 7144, Abu Daud No. 2626, At Tirmidzi No. 1707, Ahmad No. 6278)

Hadits-hadits ini merupakan petunjuk dan panduan dalam hal ini, yang memperkuat ketetapan sebelumnya bahwa mentaati pemimpin adalah wajib selama bukan dalam maksiat, dan –sekali lagi- penetapan Idul Adha dan Idul Fitri, tidak ada kaitan sama sekali dengan perintah berbuat kemaksiatan.

3. Kaidah fiqih: Laa Inkara fi masaa’il Ijtihadiyah (tiada pengingkaran dalam perkara ijtihad)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak boleh saling menganulir. Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Juga dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:

“Pendapat seorang pemimpin dan wakilnya dalam perkara yang di dalamnya tidak dibahas oleh nash, dan dalam perkara yang multitafsir, dan dalam maslahat mursalah maka itu bisa diamalkan selama tidak bertabrakan dengan kaidah syara’, dan dapat berubah seiring perubahan keadaan, tradisi, dan adat. Hukum dasar dari ibadah adalah ta’abbud (ketundukan) tanpa mencari-cari kepada makna-maknanya, sedangkan dalam hal adat dibolehkan mencari rahasia, hikmah, dan maksud-maksudnya.” (Ushul ‘Isyrin No. 5)

Oleh, karenanya taruhlah pendapat pemimpin salah, namun ketaatan tidaklah hilang hanya karena kekeliruan ijtihad mereka, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru menyebutnya mendapatkan satu pahala jika ijtihad salah. Sebab hal ini bukanlah sesuatu yang pasti benar dan pasti salah, kecuali jika kita sedang tinggal di Arab Saudi, saat mereka wuquf hari senin (9 Zulhijjah), kita berhari raya rabu (11 Zulhijjah), jelas itu salah. Sedangkan di negeri lain yang menggunakan perhitungan dan ru’yah sendiri, sangat mungkin terjadinya perbedaan. Sebenarnya, kalau pun ada yang shalat Ied di hari tasyriq (11, 12, 13 Zulhijjah), maka sebagian ulama tetap membolehkan seperti Imam Ibnu Taimiyah, namun itu menurutnya mafdhul (tidak utama).

Di sisi lain, pemerintah pun tidak boleh mengingkari para ormas, dan memberikan kelapangan kepada rakyatnya dalam hal ini. Hanya saja sebagusnya para ormas ini memperhatikan ayat-ayat dan hadits-hadits ketaatan kepada pemimpin secara umum, selama bukan dalam hal haram, dan memperhatikan adab dan etika hidup berjamaah dan musyawarah.

4. Kaidah: jika hakim sudah memutuskan maka perselisihan harus dihilangkan (Idza Hakamal Hakim yarfa’ul khilaf)Kaidah ini didasarkan ayat An Nisa 59 di atas.
Hendaknya perselisihan pendapat menjadi hilang ketika pemimpin sudah memutuskan perkaranya melalui lembaga yang ditunjuknya atau unsur pemerintah yang berwenang, terlepas dari apakah pemimpin kita ini termasuk zalim, fasiq atau tidak. Dan itu merupakan realisasi atas keimanan kita terhadap ayat tersebut, betapa pun kita sangat tidak sependapat dengan pendapat pemimpin tersebut, bahkan kita menganggapnya itu pendapat yang keliru.Dan kaidah ini sangat bagus untuk meredam kemungkinan konflik di antara elemen umat Islam, baik sesama umat atau antara umat dengan pemimpinnya. Namun, hal ini sulit dilaksanakan oleh orang yang ta’ashub kelompok dan selalu memandang kebenaran melalui kaca mata kuda, tidak mau menerima masukan pihak lain.

Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:

"Ketahuilah, bahwa keputusan hakim dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim". (Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)

Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:

"Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan". (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)

Selesai...

Wallahu A’lam wa Ilaihi Musytaka...

1 komentar:

simple...


((صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ))
"Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), jika berawan (tidak bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjagi tiga puluh (30)."
Dalam lafazh yang lain:

jika tidak ada di seluruh dunia yg melihat hilal baru kemdian memakai metode hisab yaitu menggenapakn jadi 30 hari bulan sya'bannya.

Afwan setahu ana ru'yat dan hisab di atas kebalik..yg hisab adalah yg menghitung dan yg ru'yat yang melihat hilal..apa ana yg salah ya? mhn koreksi!

Selanjutnya:
1. perbedaan dalam memaknai ulil amri, ulil amri masdarnya adlah atiullaha wa'atiur rasuul bukan atiiul amrikiya wa dimukratiyyun yang harus diikuti...
2.Sumber hukum Islam Alqur'an, as sunnah, ijma sahabat dan qiyas.
Fatwa ulama apalagi yng menyerahkan ketaatan pada ulil amri dimukratiyyun BUKAN SUMBER HUKUM SYARA'.
3.Dalam Islam tidak ada istilah dua pemimpin (ulil amri).
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim

artinya konteks di atas tidak pas/tidak nyambung (pemerintah Arab dan negara lain).

afwan sekedar share.jika ada koreksi mhn disampaiakn.syukran

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Perindu Syurga

Perindu Syurga
Cinta Kerja Harmoni

Arsip Tulisan

About Me

Followers

Pageviews

Hikmah Hari Ini

“Saya bersama kalian, saya berada diantara kalian, untuk memegang teguh syari’at Undang-undang. Kita mencintai Rab Kita melebihi tanah air kita, dan kita berbuat adil, adil dengan apa yang kita katakan. Kami menginginkan kemerdekaan dan keadilan untuk anak anak kita.” (Muhammad Mursi).