Mohon Baca Artikel Ini Sampai Habis secara Perlahan.
Penjelasan Singkat secara Keilmuan
Awal Ramadhan 1433 H – HISAB (Perhitungan):
Secara Hisab, konjungsi atau ijtimak akhir Sya’ban 1433 H akan jatuh
pada Kamis 19 Juli 2012 jam 11:25 WIB. Maka awal Ramadhan 1433 H akan
jatuh pada Jum’at 20 Juli 2012, karena perhitungan ilmu falak
kontemporer, Hilal pada sore hari Kamis 19 Juli 2012 sudah positif di
seluruh wilayah Indonesia. Ormas yang menggunakan kriteria HISAB ini
akan memulai berpuasa pada Jum’at , 20 JULI 2012.
Awal Ramadhan 1433 H – Rukyat: -Istikmal Sya’ban 1433 H-
Dari pelabuhan Ratu: Hilal pada Kamis 19 Juli 2012 baru setinggi 1,5
derajat. Meski elongasi di atas 4 derajat, namun karena usia juga baru
6,5 jam ; maka dipastikan secara Imkan Rukyah juga mustahil
terlihat/terpenuhi. Sehingga sore harinya, atau esok harinya Jum’at 20
Juli 2012 masih masuk bulan Sya’ban 1433 H alias Istikmal untuk Sya’ban
1433 H.
Sehingga, Pemerintah RI yang menggunakan kriteria
Imkan Rukyah dan ormas yang menggunakan kriteria Rukyat kemungkinan akan
mulai berpuasa pada Sabtu, 21 juli 2012. Simulasi Visibiltas Hilal dari
Surakarta, pada hari pertama Rukyah (hari konjungsi/ijtimak): (Lihat
Gambar)
Kesimpulan :
HISAB –> 1 Ramadhan 1433 H = Jum’at, 20 Juli 2012 M
RUKYAH –> 1 Ramadhan 1433 H = Sabtu, 21 Juli 2012 M
==========================
Penjelasan Syar'i
Oleh Ustadz Farid Nu'man Hasan
//Tulisan ini hanya bermanfaat bagi orang yang masih mengakui
pemerintah RI sebagai pemimpin mereka, betapa pun fasiq dan zalimnya.
Ada pun pihak yang telah sampai taraf mengkafirkan pemerintah RI – yang
dengan pengkafiran itu tidak mungkin mereka mentaatinya, tentu tulisan
ini sama sekali tidak menbawa dampak apa-apa kecuali penolakan. (Ustadz
Farid Nu'man)//
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya
adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari
kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Ibnu Majah No. 1660, Ad
Dailami No. 3819, Ad Daruquthni 2/164, Musnad Asy Syafi’i No. 315, Imam
At tirmidzi mengatakan: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan
dalam Ash Shahihah No. 224)
Hadits ini menjelaskan bahwa hendaknya kita berpuasa, Idul Fitri, dan Idul Adha ketika manusia melakukannya, jangan menyendiri.
Imam At Tirmidzi menjelaskan:
“Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna
hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan
mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)
Imam Al Munawi berkata:
Yaitu berpuasa dan berbuka bersama jama’ah dan mayoritas manusia. (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/208)
Imam Al Munawi mengutip dari Imam Ad Dailami dalam kitab Musnad Firdaus sebagai berikut:
Berkata di dalam Al Firdaus: sebagian ulama menafsirkan, katanya:
“Puasa, Idul fitri, dan Idul adha bersama jamaah dan mayoritas manusia.”
(Faidhul Qadir, 4/320)
Fatwa ulama Arab Saudi sendiri pada
lembaga fatwa Al Lajnah Ad Daimah, tentang sekelompok manusia yang
berpuasa, beridul fitri, dan idul adhanya berbeda dengan orang-orang
kebanyakan, lantaran tidak mengikuti ru’yah di negerinya, justru Lajnah
Daimah menganjurkan berhari raya bersama manusia di negerinya
masing-masing. Fatwa tersebut:
Wajib atas mereka berpuasa
bersama manusia, beridul fitri bersama manusia, dan shalat idain (Idul
fitri dan Idul Adha) bersama kaum muslimin di negeri mereka. … (Al
Khulashah fi Fiqhil Aqalliyat, 4/31)
Fatwa Syaikh Muhamma bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: jika terjadi perbedaan hari Arafah
disebabkan oleh perbedaan negara yang berbeda mathla’ hilalnya apakah
kita berpuasa mengikuti ru’yah negara tempat kita berada, ataukah
mengikuti ru’yah Haramain (Makkah dan Madinah)?
Syaikh yang
mulia menjawab: Jawaban pertanyaan ini adalah berdasarkan perbedaan
pendapat ulama, apakah ru’yah hilal itu satu di seluruh dunia ataukah
berbeda menurut perbedaan mathali’ (tempat terbitnya hilal)?
Yang benar adalah ru’yah itu berbeda sesuai perbedaan mathali’. Misalnya
jika hilal telah di ru’yat di Makkah dan tanggal hari ini di Makkah
adalah tanggal 9 Dzulhijjah, lalu di negeri lain hilal telah dilihat
sehari sebelum ru’yat Makkah, sehingga hari ini di tempat itu adalah
tanggal 10 Dzulhijjah, maka penduduk negeri tersebut tidak boleh
berpuasa hari ini karena bagi mereka ini adalah Idul Adha. Begitu juga
jika ditakdirkan hilal terlihat di negeri tersebut sehari setelah ru’yah
di Makkah, sehingga tanggal 9 di Makkah adalah tanggal 8 di negeri
mereka, maka mereka tetap berpuasa esok hari (tanggal 9 di negeri
mereka) bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Makkah. Inilah
pendapat yang raajih (kuat). Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Jika kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah, dan jika kamu
melihatnya maka berharirayalah). Mereka yang di negerinya hilal belum
muncul tidak bisa melihatnya, sebagaimana manusia (kaum muslimin)
sepakat bahwa mereka menggunakan terbit fajar dan terbenamnya matahari
sendiri-sendiri sesuai lokasi negeri mereka, begitu pula dengan
penetapan waktu bulanan ia seperti penetapan waktu harian. (Majmu’
Fatawa wa Rasail No. 405. Darul Wathan – Dar Ats Tsarayya)
Imam Ash Shan’ani mengatakan dengan tegas :
“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang diambil ‘ibrah dalam menetapkan
hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang
menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal
tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti,
apakah dalam waktu shalat, ber’idul Fithri atau pun berkurban (Idul
Adha). At Tirmidzi telah meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Abu
Hurairah, dan dia berkata: hadits hasan. Dan semakna dengan ini adalah
hadits Ibnu Abbas, ketika Kuraib berkata kepadanya, bahwa penduduk Syam
dan Muawiyah berpuasa berdasarkan melihat hilal pada hari Jumat di Syam.
Beliau dating ke Madinah pada akhir bulan dan mengabarkan kepada Ibnu
Abbas hal itu, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya: “tetapi kami
melihatnya (hilal) pada sabtu malam, maka kami tidak berpuasa sampai
sempurna tiga puluh hari atau kami melihatnya.” Aku berkata: “Tidakkah
cukup ru’yahnya Mu’awiyah dan Manusia?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak,
inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
kepada kami.” (Subulus Salam, 2/63)
Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:
Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam
ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen)
keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka
untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal
ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas
umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa
menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian
tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam
permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Apa yang dikatakan oleh Imam Abul Hasan As Sindi, bahwa penentuan
masuknya Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha merupakan domain dan
wewenang pemerintah, tidak berarti mematikan potensi umat dan ormas.
Mereka boleh saja memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah
tetapi keputusan terakhir tetap di tangan pemerintah, dan hendaknya
mereka legowo menerimanya, sebagai bukti bagusnya adab hidup berjamaah.
Syaikh Al Albani berkata – dan ini adalah komentar yang sangat bagus darinya:
“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara
misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka
serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu
perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut
yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti;
shaum, Id, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian
shahabat Radhiallahu ‘Anhum shalat bermakmum di belakang shahabat
lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh
wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk
pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!
Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara
mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah
menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang
imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena
adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih
buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka
mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat
berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk
menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap
mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
(1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu
shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu
‘Anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan
‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian
terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat
itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika
di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka
dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas
shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas
dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.
Hendaknya
hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh
orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta
tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir
di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan
madzhab mereka! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka
sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun
mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus
berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin. Hendaknya mereka semua
mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa
menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka.
Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama
saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersama Al Jama’ah.” (As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)
Wallahu A’lam ..
// Kenapa Ikut Pemerintah?
Ada beberapa alasan kenapa berhari raya sebagusnya mengikuti pemerintah:
1. Keumuman dalil surat An Nisa ayat 59: Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum ….
Imam Al Baidhawi menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan ulil amri
-‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para
khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk
mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati
mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi).
(Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)
Sebagian muhaqqiq
(peneliti) dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati
pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram.
(Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)
Dan masalah penentuan hari raya tak ada kaitan sama sekali dengan perintah “keharaman”.
2. Keumuman dalil hadits-hadits nabi untuk mentaati pemimpin selama bukan dalam perintah maksiat.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah.
Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada
Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah mentaatiku.
Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia telah bermaksiat
kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika rakyatnya
diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah dengan ketaqwaan
kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika dia mengatakan
selain itu, maka dosanya adalah untuknya.” (HR. Bukhari No. 2957, Muslim
No. 1835, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 7816, Ibnu Majah No.
2859. Ahmad No. 7434)
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya
ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Bukhari
No. 7257, Muslim No. 1840, Abu Daud No. 2625, Ahmad No. 724, dll)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan
dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk
maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari No.
7144, Abu Daud No. 2626, At Tirmidzi No. 1707, Ahmad No. 6278)
Hadits-hadits ini merupakan petunjuk dan panduan dalam hal ini, yang
memperkuat ketetapan sebelumnya bahwa mentaati pemimpin adalah wajib
selama bukan dalam maksiat, dan –sekali lagi- penetapan Idul Adha dan
Idul Fitri, tidak ada kaitan sama sekali dengan perintah berbuat
kemaksiatan.
3. Kaidah fiqih: Laa Inkara fi masaa’il Ijtihadiyah (tiada pengingkaran dalam perkara ijtihad)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam
menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi
itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara
yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih
diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena
berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah
sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq).
Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan
yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat
dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan
dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak boleh
saling menganulir. Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah Ketika
membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al
Asybah wa An Nazhair:
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada
pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya
pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’
(kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair,
Juz 1, hal. 285. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Juga dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:
“Pendapat seorang pemimpin dan wakilnya dalam perkara yang di dalamnya
tidak dibahas oleh nash, dan dalam perkara yang multitafsir, dan dalam
maslahat mursalah maka itu bisa diamalkan selama tidak bertabrakan
dengan kaidah syara’, dan dapat berubah seiring perubahan keadaan,
tradisi, dan adat. Hukum dasar dari ibadah adalah ta’abbud (ketundukan)
tanpa mencari-cari kepada makna-maknanya, sedangkan dalam hal adat
dibolehkan mencari rahasia, hikmah, dan maksud-maksudnya.” (Ushul
‘Isyrin No. 5)
Oleh, karenanya taruhlah pendapat pemimpin
salah, namun ketaatan tidaklah hilang hanya karena kekeliruan ijtihad
mereka, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru menyebutnya
mendapatkan satu pahala jika ijtihad salah. Sebab hal ini bukanlah
sesuatu yang pasti benar dan pasti salah, kecuali jika kita sedang
tinggal di Arab Saudi, saat mereka wuquf hari senin (9 Zulhijjah), kita
berhari raya rabu (11 Zulhijjah), jelas itu salah. Sedangkan di negeri
lain yang menggunakan perhitungan dan ru’yah sendiri, sangat mungkin
terjadinya perbedaan. Sebenarnya, kalau pun ada yang shalat Ied di hari
tasyriq (11, 12, 13 Zulhijjah), maka sebagian ulama tetap membolehkan
seperti Imam Ibnu Taimiyah, namun itu menurutnya mafdhul (tidak utama).
Di sisi lain, pemerintah pun tidak boleh mengingkari para ormas, dan
memberikan kelapangan kepada rakyatnya dalam hal ini. Hanya saja
sebagusnya para ormas ini memperhatikan ayat-ayat dan hadits-hadits
ketaatan kepada pemimpin secara umum, selama bukan dalam hal haram, dan
memperhatikan adab dan etika hidup berjamaah dan musyawarah.
4. Kaidah: jika hakim sudah memutuskan maka perselisihan harus
dihilangkan (Idza Hakamal Hakim yarfa’ul khilaf)Kaidah ini didasarkan
ayat An Nisa 59 di atas.
Hendaknya perselisihan pendapat menjadi
hilang ketika pemimpin sudah memutuskan perkaranya melalui lembaga yang
ditunjuknya atau unsur pemerintah yang berwenang, terlepas dari apakah
pemimpin kita ini termasuk zalim, fasiq atau tidak. Dan itu merupakan
realisasi atas keimanan kita terhadap ayat tersebut, betapa pun kita
sangat tidak sependapat dengan pendapat pemimpin tersebut, bahkan kita
menganggapnya itu pendapat yang keliru.Dan kaidah ini sangat bagus untuk
meredam kemungkinan konflik di antara elemen umat Islam, baik sesama
umat atau antara umat dengan pemimpinnya. Namun, hal ini sulit
dilaksanakan oleh orang yang ta’ashub kelompok dan selalu memandang
kebenaran melalui kaca mata kuda, tidak mau menerima masukan pihak lain.
Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:
"Ketahuilah, bahwa keputusan hakim dalam masalah yang masih
diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang
menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim dan
dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim". (Anwarul Buruq
fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)
Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:
"Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan
keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal
masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi
Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena
jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan
perselisihan". (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah
Al Islamiyah)
Selesai...
Wallahu A’lam wa Ilaihi Musytaka...
Diposting oleh
Agus eSWe
1 komentar:
simple...
((صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ))
"Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), jika berawan (tidak bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjagi tiga puluh (30)."
Dalam lafazh yang lain:
jika tidak ada di seluruh dunia yg melihat hilal baru kemdian memakai metode hisab yaitu menggenapakn jadi 30 hari bulan sya'bannya.
Afwan setahu ana ru'yat dan hisab di atas kebalik..yg hisab adalah yg menghitung dan yg ru'yat yang melihat hilal..apa ana yg salah ya? mhn koreksi!
Selanjutnya:
1. perbedaan dalam memaknai ulil amri, ulil amri masdarnya adlah atiullaha wa'atiur rasuul bukan atiiul amrikiya wa dimukratiyyun yang harus diikuti...
2.Sumber hukum Islam Alqur'an, as sunnah, ijma sahabat dan qiyas.
Fatwa ulama apalagi yng menyerahkan ketaatan pada ulil amri dimukratiyyun BUKAN SUMBER HUKUM SYARA'.
3.Dalam Islam tidak ada istilah dua pemimpin (ulil amri).
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim
artinya konteks di atas tidak pas/tidak nyambung (pemerintah Arab dan negara lain).
afwan sekedar share.jika ada koreksi mhn disampaiakn.syukran
Posting Komentar