Provokatif kah judul artikel diatas?
Bisa ya bisa tidak, tergantung dari mana anda menilainya, kalau saya
sebagai free thinker menganggapnya biasa saja. Nanti anda juga tahu apa
sebenarnya yang saya maksud. Bernuansa SARA-kah artikel ini? Oh jelas,
kalau soal ini saya tidak akan menafikannya. Tapi barangkali kita semua
sepakat bahwa masalah SARA itu justru harus dibahas secara terbuka
sehingga kita bisa saling menerima dan saling memahami satu sama lain
yang akan berbuah toleransi dan saling menghargai. Percuma juga kan
kalau alergi ngomongin SARA terang-terangan namun saling hujat dengan
bahasa tidak terpelajar di forum-forum komentar.
Baiklah, sekian pembukaan artikelnya,
semoga tidak ada yang kaget lagi. Sekarang saya beranjak kepada isi
cerita, yaitu fenomena yang menghebohkan banyak masyarakat Minangkabau
baik di Sumatera Barat maupun di seantero dunia perantauan mereka baik
di dalam maupun di luar negeri.
Masyarakat Minangkabau tiba-tiba gempar
dalam dua minggu belakangan ini. Mereka berkicau di hampir semua forum
dan kanal social media tentang sebuah film yang meresahkan mereka. Cinta Tapi Beda, karya terbaru sutradara Hanung Bramantyo dan produser Raam Punjabi telah
membuat masyarakat Minangkabau tersentak. Mereka merasa zona nyamannya
telah diusik dengan semena-mena oleh Hanung dengan alasan kebebasan
berekspresi. Bagaimana bisa?
Penyebabnya adalah keberadaan salah satu tokoh utama dalam film itu yang bernama Diana, seorang gadis asal Padang yang merupakan penganut Katholik taat dan berwajah sangat Indonesia.
Tokoh ini muncul dengan simbol-simbol arsitektur Minang yaitu Rumah
Gadang, dialek Minang dan nuansa lain yang dibangun seolah-olah dia
adalah gadis dari etnik Minangkabau. Hanya saja dia tidak beragama Islam
sebagaimana jamaknya etnik Minangkabau. Diana beragama Katholik dan
dibesarkan oleh keluarga yang gemar makan hidangan babi rica-rica.
Sebenarnya Hanung mungkin sadar juga untuk bermain api karena dia menggunakan istilah gadis asal Padang bukan gadis Minangkabau.
Apa bedanya? Nah ini dia. Bagi orang di luar Sumatera Barat, Padang dan
Minangkabau adalah hal yang identik, bahkan sebagian besar perantau
Minangkabau sudah menerima saja diidentifikasi sebagai orang Padang
(istilah yang sebenarnya salah kaprah). Namun bagi masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat, orang Padang belum tentu berasal dari
etnik Minangkabau. Ia bisa saja etnik Tionghoa, etnik Nias, etnik
Mentawai, etnik Batak, etnik Arab dan bahkan etnik India (Keling). Orang
Minangkabau tidak terlalu mengurusi agama yang dianut oleh etnik-etnik
selain Minangkabau itu. Padang adalah kota multi etnik dengan tingkat
toleransi antar etnik dan agama yang cukup baik. Orang Tionghoa biasanya
beragama Katholik, Protestan atau Konghucu dan Buddha. Sedangkan Nias
dan Mentawai rata-rata beragama Protestan. Sedangkan India beragama
Hindu dan Islam. Kalau orang Minangkabau? Jangan ditanya, mereka akan
menjawab 100% Islam.
Mungkin etnik lain akan mempertanyakan,
masa iya bisa dijamin kalau Minangkabau itu 100% Muslim. Jawabnya adalah
konsep yang dianut masyarakat Minangkabau itu yang mengkaitkan
etnisitasnya dengan agama Islam, dalam bahasa mereka “Adat bersendi
syariat, Syariat bersendi Al-Qur’an (ABS-SBK)”. Konsep yang mereka anut
ini membawa konsekuensi bahwa setiap orang Minangkabau yang keluar dari
agama Islam, tidak dianggap orang Minangkabau lagi secara adat, walaupun
secara genetik ia masih 100% Minangkabau. Hak-hak adatnya akan gugur,
warisannya akan hilang dan dia dibuang dari keluarga. Kejam? Boleh saja
anda berpendapat begitu, namun itulah keputusan bersama masyarakat
Minangkabau secara musyawarah mufakat, dan ketentuan ini sudah mendarah
daging bagi mereka. Minangkabau itu harus Islam, bukan Islam sudah pasti
bukan Minangkabau. Sejak awal terciptanya etnis Minangkabau memang
tidak mendasarkan dirinya kepada keturunan (genealogis) namun kepada
konsep ideologis yang disebut Adat, yang pada kemudian hari mendapat
unsur baru yaitu agama.
Inilah realita psikologi sosial yang
diamini oleh masyarakat Minangkabau. Dalam komunitas negara yang bernama
Indonesia ini tentunya orang Minangkabau berhak untuk diakui
keunikannya ini sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Mereka tentu
berharap orang di luar etnik Minangkabau memahami hal ini dan
menghargai, sebagaimana mereka menghargai komunitas lain.
Batas inilah yang dilangkahi oleh Hanung
Bramantyo yang dengan sembrono mengkampanyekan hal-hal yang
bertentangan dengan psikologi sosial masyarakat Minangkabau. Wajar saja
mereka protes keras bahkan terakhir sudah mengajukan gugatan hukum.
Sejatinya orang Minangkabau itu cukup toleran, jarang terdengar ada
konflik agama dan etnik di Ranag Minang. Mungkin mereka tidak akan
terlalu perduli dengan tema-tema film Hanung seperti “tanda tanya” atau
tema-tema nikah beda agama. Tetapi ketika Hanung sudah mengacak-acak dan
tidak menghormati konsensus budaya mereka, apalagi Hanung ini bukan
orang Minang, maka mereka serempak bersuara.
Kasus Hanung ini merupakan pelajaran
yang bagus dan ujian bagi pluralitas dan kebebasan berpendapat di
Indonesia. Setiap kebebasan itu haruslah disertai tanggung jawab. Untuk
apa kita bebas-bebasan namun malah merusak kedamaian. Realitas sosial
boleh diangkat dan tidak baik juga untuk ditutup tutupi, namun
kebohongan sosial tentu tidak dapat diterima akal sehat. Di atas semua
itu sikap saling memahami, saling menghargai dan saling menerima adalah
kunci bagi tetap merekatnya hubungan kita sebagai sebuah bangsa yang
sedang berproses.
Untuk Hanung, semoga kedepan semakin
bijaksana dan cerdas melakukan analisa. Membuat film Perempuan Berkalung
Surban mungkin boleh-boleh saja, tapi Minangkabau Berkalung Salib? Ehm,
sebaiknya jangan dicoba. [Fadli Zulfadli]
0 komentar:
Posting Komentar