Menang dan menang. Inilah yang dialami Ikhwanul Muslimin, sebuah 
organisasi sosial keagaman di Mesir, sejak lengsernya Husni Mubarak dari
 jabatan presiden pada 11 Februari 2011. Hanya kurang dari dua tahun 
ormas yang berdiri pada 1928 itu--melalui sayap politiknya, Partai 
Kebebasan dan Keadilan--telah memenangkan pemilihan Majelis Al Sya’b (DPR) sebelum kemudian dibubarkan militer, Majelis Syuro (MPR), pemilu presiden, dan terakhir juga memenangkan referendum terhadap konstitusi baru.
Yang terakhir ini, tim perumusnya berjumlah 100 orang. Sebagian besar 
adalah anggota atau simpatisan dari Ikhwanul Muslimin. Dan, karena itu, 
konstitusi baru Mesir ini dinilai banyak pihak--terutama para liberalis,
 sosialis, dan kaum sekuler--sebagai sangat Islami.
Sejak kemenangan Ikhwanul Muslimin, untuk selanjutnya ditulis al Ikhwan,
 para pengamat--baik lokal maupun Barat--pun disibukkan untuk mencari 
tahu rahasiaces pleng bagaimana ormas ini, hanya kurang dari dua tahun 
sudah berhasil mendominasi peta perpolitikan di Mesir. Mereka 
menyebutnya sebagai "mayoritas yang paling siap" (al aghlabiyah al jahizah).
Ada juga yang menyatakannya sebagai "satu-satunya yang selalu beruntung dan berulang-ulang juara pertama" (daaiman robihan wahiidan wa yatakarroru fauzuhu bil jaaizatil uula).
 Sejumlah pengamat menganalisis, kunci sukses al Ikhwan adalah lantaran 
telah lama terzalimi. Lebih dari 80 tahun para tokoh dan pemimpinnya 
teraniaya.
Namun, di tengah kezaliman dan penganiayaan, baik oleh penjajah asing 
maupun oleh rezim bangsanya sendiri, pimpiman dan kader-kader al Ikhwan 
terus bisa bertahan. Bahkan, para pengikutnya bukan berkurang, tapi 
justru terus bertambah. Bukan hanya di kota-kota, tapi juga di 
pelosok-pelosok desa.
Para pengamat menyebut kaderisasi model al Ikhwan ini sebagai "Kampus Besar Ikhwanul Muslimin" (al Jami’ah al Kubro lil Ikhwanul Muslimin).
 Para "mahasiswa-mahasiswinya" sangat militan, loyal, dan berdedikasi. 
Mereka aktif terjun di masyarakat. Membantu mereka yang membutuhkan, 
termasuk dari hal-hal yang kecil.
Karena itu, bila suatu waktu berkunjung ke Mesir, Anda jangan heran bila
 menjumpai anak-anak muda di terminal bus, stasiun kereta api, dan 
tempat-tempat umum ada yang menawarkan jasa. Misalnya, menuntun orang 
tua untuk menyeberangi jalan, membawakan barang bawaan penumpang, 
membantu menghadapi kejahatan, cepat mengulurkan tangan ke masyarakat 
yang kena musibah, serta memberikan bantuan-bantuan sosial lainnya.
Semua mereka lakukan tanpa minta imbalan dan tanpa diliput media. Tidak 
seperti para politikus Indonesia yang selalu mengajak wartawan bila 
ingin memberikan bantuan kepada masyarakat. Sebelum menawarkan jasa, 
biasanya mereka memperkenalkan identitas terlebih dulu, sehingga 
masyarakat tidak ragu.
Kaderisasi seperti ini telah berjalan selama puluhan tahun. Tak 
mengherankan bila kemudian banyak masyarakat yang simpati kepada 
aktivitas dan gerakan al Ikhwan. Para kader dan simpatisan inilah yang 
kemudian membentuk apa yang dinamakan silent majority (al aktsariyah al shomitah).
 Mayoritas diam inilah yang kelak selalu memenangkan al Ikhwan di pentas
 politik dan pesta demokrasi di Mesir setelah tumbangnya rezim Husni 
Mubarak.
Gerakan dan kaderisasi model Kampus Besar Ikhwanul Muslimin tersebut 
tentu tak terlepas dari sang pendiri dan pimpinan teras al Ikhwan. Ormas
 ini didirikan Sheikh Hasan al Bana dan koleganya pada 1928, ketika 
Mesir masih berbentuk kerajaan dan di bawah kendali penjajah Inggris. 
Meskipun gerakan Islam politik dalam sejarah modern diawali oleh 
Jamaluddin Al Afghani (1838) dan kemudian oleh Muhammad Abduh 
(1849--1905), namun dalam bentuk organisasi dan kaderisasi yang lebih 
terstruktur baru dimulai oleh Sheikh al Bana dengan al Ikhwannya.
Sheikh al Bana terbunuh pada 1949 setelah melawan Raja Faruk yang 
dituduh telah bekerja sama dengan penjajah Inggris. Sheikh Sayyid Qutub 
lalu menggantikannya. Setelah al Bana, Qutub merupakan ideolog al 
Ikhwan. Ia banyak berceramah dan menulis buku untuk menjabarkan ajaran 
dan ideologi Ikhwanul Muslimin.
Pada mulanya, Sayyid Qutub bekerja sama dengan Jamal Abdul Nasir ketika 
melawan penjajahan Inggris. Namun, setelah Mesir merdeka dan Nasir jadi 
presiden, mereka pun berselisih paham yang berakibat pada pembunuhan 
Sheikh Qutub (1966) dan pelarangan gerakan al Ikhwan. Nasir ingin 
menjadikan Mesir sebagai negara sosialis dan poros dari pan-Arabisme, 
sementara Sheikh Qutub menghendaki negara yang berlandaskan Islam.
Larangan terhadap gerakan al Ikhwan ini kemudian terus berlanjut pada 
masa Presiden Anwar Sadat dan Husni Mubarak. Banyak tokoh Al Ikhwan 
dikejar-kejar dan dijebloskan dalam penjara. Termasuk Sheikh Muhammad 
Mursi yang kini terpilih menjadi presiden. Meskipun dilarang, 
kader-kader al Ikhwan terus bergerak, baik di bawah tanah maupun 
terang-terangan, bahkan lebih militan.
Demi perjuangan, mereka kemudian banyak yang berganti "baju", baik 
sebagai LSM maupun asosiasi-asosiasi keprofesian. Misalnya, asosiasi 
dokter, insinyur, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Melalui mimbar 
asosiasi, media, dan LSM mereka kemudian meneriakkan pentingnya 
nilai-nilai demokrasi untuk melawan rezim diktator.
Para kader dan simpatisan Al Ikhwan aktif menggerakkan aksi-aksi unjuk 
rasa untuk menjatuhkan rezim diktator Husni Mubarak. Bagi al Ikhwan, 
Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Bahkan, justru di alam 
demokrasilah nilai-nilai Islam dapat diperjuangkan. Dan, inilah yang 
dibuktikan oleh al Ikhwan ketika memenangkan pemilu demokratis di Mesir.
 []
(Resonansi Republika, Senin 7 Januari 2013)
____________________
*Tentang Penulis:
Ikhwanul Kiram Mashuri - Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.

 
0 komentar:
Posting Komentar