Setelah dikejutkan besarnya demonstran
pro-Mursi di depan Universitas Kairo, oposisi menyadari bahwa lambat
tapi pasti kekuatannya semakin berkurang. Untuk itu mereka berpikir
bagaimana mengapitalisasi keadaan. Maka sebagaian massa diarahkan ke
Istana Ittihadiyah dengan tujuan menarik dukungan internasional ataupun
–jika terjadi baku hantam- diharapkan simpati rakyat Mesir bisa berpihak
kepada mereka. Sebetulnya ini bukan strategi baru. Pernah ditawarkan
Abul Hamid ketika hendak menggulingkan Mursi pada tanggal 25 Agustus
2012 silam : mengumpulkan sekitar 100.000 demonstran penentang Mursi dan
bermalam di depan istana untuk kemudian Amerika angkat bicara.
Membawa tuntutan penghapusan dekrit serta
boikot referendum, massa oposisi sengaja mendobrak pembatas,
menyorat-nyoret tembok pagar istana, merusak mobil kepresidenan, bahkan
–sebagaimana penuturan wapres dalam konferensi pers- melempar molotov.
Bukannya arogan membubarkan demonstran, aparat keamanan justeru mendapat
perintah untuk menarik diri agar kerusuhan tidak meletus.
Keesokan harinya massa pro-Mursi sepakat
untuk berdemonstrasi di depan istana menyampaikan pesan kepada dunia
isternasional bahwa aksi yang semalam digelar oposisi tidak mencerminkan
kehendak seluruh rakyat Mesir. Melihat massa pro-Mursi datang
berbondong-bondong, beberapa oposisi yang mendirikan tenda di depan
istana segera meningalkan tempat tanpa membawa serta barang-barangnya :
botol bir, ganja, dan molotov –sebagaimana yang ditangkap kamera stasiun
Aljazeera.
Sejurus kemudian, oposisi yang tadi pergi
datang kembali membawa gerombolannya. Satu peluru dilesatkan. Kerusuhan
pecah di depan gedung simbol kehormatan Negara. Kabar yang selanjutnya
beredar sangat berbeda. Media massa tidak menekankan fokus pada siapa
yang membawa senjata, melainkan hanya mengabarkan : setelah massa
pro-Mursi mendatangi istana baku hantam tidak dapat dihindarkan.
Sejumlah tokoh oposisi dengan kalimat berbeda menyampaikan maksud yang
sama : presiden kehilangan legitimasi. Membuat scenario seolah-olah
dirugikan, tergesa-gesa Baradei menghakimi di akun Twitternya : Vicious
attack vs peaceful protesters in front of presidential palace w/o
police protection. Regime leading Egypt into violence & bloodshed.
Tapi bola menggelinding begitu cepat.
Pihak mana yang menyulut api dan pihak mana yang dirugikan terungkap.
Jatuh korban tewas dari massa pro-Mursi dengan luka tembak di kepala.
Beberapa saat kemudian, tertangkap 4 orang preman bayaran dengan bukti
mengantongi senjata. Di Ismailiyah, kantor Ikhwanul Muslimin berusaha
dibakar. Di Zagazig, kantor FJP dilempar molotov.
Apa yang tengah terjadi di Mesir saat ini
bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dimulai dari pemilu parlemen, pemilu
majelis syura kemudian pemilu presiden, selalunya ketika masa transisi
semakin mendekati penyelesaian ; usaha penggagalan muncul semakin kuat.
Revolusi Mesir yang mangamanatkan pembenahan harus siap dihadang
pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu.
Solusi paling aman di saat genting
sekarang ini adalah dibukanya dialog nasional antara oposisi dan
koalisi. Namun agaknya tidak mudah, terlebih setelah Jaksa Agung
menetapkan akan memeriksa Baradei, Amr Musa, Sayyid Badawi dan Hamdain
Sabbahi atas delik usaha kudeta. Maka pemerintah perlu mengeluarkan
keterangan agar masing-masing menarik massanya dan melarang penggalangan
demonstrasi baik pro ataupun kontra di depan istana dalam batasan waktu
yang ditentukan. Dan sebab rakyat adalah sumber kekuasaan, maka
percayakan pada demokrasi. Adapun penyataan Hamdain Sabbahi bahwa
dirinya akan menghentikan referendum harus dihadapkan pertanyaan :
sampai kapan anarkisme menggantikan demokrasi?
By: Kaisar el rema
0 komentar:
Posting Komentar